Sang Pemimpi adalah sebuah film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Andrea Hirata. Juga merupakan lanjutan/sekuel dari film Laskar Pelangi yang sangat sukses sebelumnya, yang ditonton lebih dari empat juta penonton, tercatat sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa. Bedanya, di sekuelnya kali ini, para tokoh utamanya sudah beranjak remaja. Garis sentral cerita ini tentu saja tentang impian, mimpi anak-anak Belitung yang bercita-cita untuk kuliah di Jakarta, dan mendapatkan beasiswa ke Perancis. Cita-cita yang tidak mudah digapai bagi Ikal dan Arai terlebih melihat kondisi sosio dan kultur mereka, belum lagi pengaruh ajaran’ Melayu yang konon memandang sinis terhadap mimpi yang terlalu tinggi, dan menerima kenyataan untuk bersikap realistis. Juga bagaimana setelah itu Arai dan Ikal dibantu sahabatnya Jimbron yang terus berjuang merealisasikan impian mereka di tengah cobaan dan kenyataan pahit dalam hidup mereka hingga nanti mereka mencapai apa yang diimpikan, disinilah letak inspirasi Sang Pemimpi yang ditawarkan oleh sutradara muda berbakat Riri Riza. Dimulai dari Ikal dewasa yang diperankan oleh Lukman Sardi yang menjalani kesehariannya sebagai pegawai pos di kota Bogor dan lalu flashback ke tahun 1980an saat Ikal menjalani kehidupan masa remajanya, saat dimana ia memiliki cita-cita besarnya. Kali ini film Sang Pemimpi banyak mengambil lokasi di Manggar berbeda dengan sekuel sebelumnya yang menceritakan masa kecilnya saat di Gantong. Mira Lesmana selaku produser film ini mengaku menghabiskan dana tidak kurang dari 11 Milyar untuk memproduksinya. Sekali lagi Riri Riza dituntut memuaskan keinginan pembaca novel Sang Pemimpi dalam memvisualisasikannya ke layar lebar. Memang nyatanya, sineas cukup banyak melakukan kompromi. Seperti nama dari penokohan, pelaut melayu bernama Mualim yang berganti menjadi bang Rokib. Adegan Zakiah Nurmala yang melambai melepas kepergian Arai ke Jakarta, seolah menasbihkan hubungan keduanya yang memiliki cinta yang sejalan, padahal sampai sekuel berikutnya dalam buku Edensor, cinta Arai masih bertepuk sebelah tangan karena Zakiah belum luruh hatinya terhadap Arai. Adegan lain yang dikompromikan terutama ketika Ikal marah kepada Jimbron yang terus mengoceh soal kuda. Di novelnya, Ikal meminta maaf pada Jimbron, namun di film justru terlihat sebaliknya, dan momen ini dipakai untuk menjadi titik klimaks Ikal dalam keputusasaannya mengejar cita-citanya, sayang penggambaran dramatisasi Ikal terlalu lama disini, menurunkan tempo film. Sebaliknya pada saat penceritaan tokoh Ikal dan Arai dewasa, alur cerita dikemas dalam tempo yang cepat hingga menjadi anti klimaks ketika cita-cita mereka tercapai ketika Arai dan Ikal akhirnya mendapatkan beasiswa untuk meraih gelar master-nya. Apalagi penonton harus beradaptasi dulu dengan tokoh baru, sosok Arai dewasa, berbeda dengan Lukman Sardi, sebagai Ikal yang sudah diperkenalkan pada sekuel sebelumnya dan awal cerita film ini. Nazril Ilham alias Ariel seorang vokalis salah satu band nomer satu itu berperan sebagai Arai, karakter penting dalam cerita. Setelah karakter Arai remajanya diperankan oleh aktor baru yang “bersih” dari image yang melekat sebelumnya hingga penjelmaan karakterpun menjadi real tanpa tedensi. Tidak heran ketika karakter Arai dewasa yang diperankan Ariel bagi penonton akan tampak susah menilainya sebagai Arai, bukan kehadirannya sebagai Ariel, terlebih mengingat aktingnya yang tidak maksimal dan kaku ditambah porsi adegannya yang tidak banyak. Dinilai Mira sosok Ariel dipilih lantaran memiliki garis wajah yang sama pada transformasi karakter Arai kecil dan Arai muda, selain tentu saja meningkatkan nilai jual film ini, dikarenakan ariel sebagai salah satu idola remaja masa kini. Secara akting tokoh-tokoh yang berperan memainkan karakter bisa dibilang pas. Selain Mathias Muchus yang berperan sebagai Ayah Ikal yang pendiam juga Landung Simatupang sebagai Pak Mustar. Tokoh Arai Remaja yang diperankan Rendy Ahmad mampu diperankan sangat apik seolah karakter Arai remaja melompat ke luar buku dan berperan lincah dalam film. Yang paling mencuri perhatian tentu saja si musikus jalanan, yang diperankan Jay Widjajanto berperan dalam porsi menghibur yang baik, terlebih sineas memberikan “tempat” khusus pada tokoh ini yang hanya ialah yang melakukan kontak mata pada kamera, kepada penonton. Menegaskan kehadiran khasnya sebagai tokoh yang tak terikat pada linkungan sosio-kultur masyarakat tersebut. Sebagai Sang harta karun lelaki Melayu, penyelamat kisah cinta Arai remaja. Terlepas dari adanya bloopers atau kesalahan dalam filmnya yakni kehadiran mobil-mobil mewah yang tidak sesuai jamannya. Ketika mereka sampai di Bogor, terlihat bayangan mobil Avanza di jalan raya, dan ketika Ikal selesai mendaftar di gedung Uni Eropa juga terlihat mobil Teranno dan Taruna, padahal settingnya tahun 90-an. Namun, kita patut berbangga dengan adanya film Indonesia yang memiliki nilai mutu yang bagus secara moral maupun estetikanya. Sang Pemimpi telah terpilih sebagai film pembuka dalam Jakarta International Film Festival JIFFEST 2009 yang digelar pada tanggal 4 Desember 2009. Sang Pemimpi menjadi film Indonesia pertama yang menjadi film pembuka pada ajang festival film internasional ini dalam sebelas tahun penyelenggaraannya. Semoga saja lebih banyak film-film Indonesia seperti ini yang bermunculan, yang mengangkat dan merepresentasikan budaya Indonesia. Beginilah film Indonesia seharusnya, berangkat dari akar tradisi yang murni dan memotivasi.
DituntutNafkah Rp 25 Juta per Bulan, Sule Rela Pontang-panting Lakoni Hal Ini Selain Tampil di Layar Kaca Sampai Jatuh Sakit: Aku Akan Terus Berjuang Luvy Octaviani - Selasa, 2 Agustus 2022 | 19:21 WIB
Setelah sukses komersial besar Rainbow Troops – keberhasilan terbesar dalam dekade terakhir di Indonesia dan yang kedua runner-up di FEFF pada 2009 – itu tak terelakkan bahwa sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana ingin bab kedua dari Andrea Hirata pada menyesuaikan trilogi otobiografi, Pemimpi Sang Pemimpi untuk layar lebar. Tim yang menang tetap sama pasangan telah kembali menjadi bertanggung jawab atas penyesuaian, dengan masukan dari Salman Aristo, sementara tim teknis yang bekerja di film pertama yang telah mencapai standar yang sangat tinggi dari produksi untuk perfilman Indonesia hampir sepenuhnya Dreamer, bagaimanapun, membawa kedua tantangan bagi mereka, seperti dalam hampir semua trilogi adalah bab yang bertindak sebagai jembatan antara dirayakan bagian pertama dan bagian ketiga dari cerita menutup; Di sisi lain, berhubungan dengan cerita yang mengambil protagonis dari masa kanak-kanak ke tahap yang sulit dari masa remaja. Dalam arti bahwa, tidak dapat dihindari bahwa film kedua ini adalah “sulit” satu untuk masyarakat Indonesia dan ini mungkin juga terjadi di negara lain pergi adalah kelembutan masa kanak-kanak dan mudah empati untuk penderitaan anak-anak yang kurang mampu di sebuah desa terkutuk, digantikan oleh cerita mimpi, fantasi dan frustrasi dari trio remaja dan dewasa muda berjuang dengan belajar, bekerja, cinta monyet dan kebangkitan seksual. Tak pelak, tema terakhir ini – dorongan seksual protagonis bangun untuk poster memikat film busuk lokal, Scandal Metropolis, yang, seperti episode Fellini di Boccaccio’70, mulai bergerak merayunya – adalah salah satu yang paling masalah gagal di mata penonton lokal yang paling konservatif sementara Rainbow Troops, dengan pesan ekumenis dan inklusif diterima persetujuan bulat dari semua partai politik, dari moderat ke Muslim paling ekstremis. Namun demikian, film ini telah melampaui dua juta entri di box office, membuatnya menjadi salah satu yang paling sukses tahun Dreamer membuka pada gambar utama ayah dari protagonis Ikal Minggu terbaiknya – kemeja safari dengan empat kantong – pada sepeda; Ini adalah thread yang hanya lebih lanjut ke dalam film, penuh cinta dikhususkan menjelaskan kepada orang tua dari produsen, direktur dan penulis naskah. Dalam salah satu dari banyak lompatan brilian dalam ruang dan waktu yang Riri Riza menjalin dalam film, kita cepat-maju untuk citra Ikal dewasa di akhir 90-an, tidak bahagia dalam pekerjaan di sebuah kantor pos di Bogor. mimpinya berkeliling dunia dan belajar di Sorbonne tampaknya menjadi penyebab hilang; sepupunya Arai, yang memimpin dia dengan memicu mimpi-mimpinya, kini telah mengkhianatinya menghilang tanpa di tepi jembatan, Ikal adalah untuk membuang mimpinya untuk angin untuk baik, tapi ketika ia melihat tiga mahasiswa melompat-lompat kelas, ia dibawa kembali dalam waktu dengan memori dari tahun yang sama lalu dilakukan. Pada saat itu, Ikal, Arai dan teman gagap mereka Jimbron merupakan mitra di daerah mereka dan kerja keras, dan di atas semua, berbagi mimpi pembebasan dari kemiskinan dan mengamankan negara fantastis dan jauh – Afrika yang eksotis, beradab Eropa – melalui studi, sastra dan puisi, didorong oleh Julian Balia, guru Masyarakat gaya Dead Poets. selangkah lagi dalam waktu menunjukkan bagaimana anak Arai menjadi yatim piatu setelah kematian ayahnya, dan disambut ke dalam keluarga Ikal; bagaimana Jimbron menjadi teman mereka melalui cinta bersama serial TV The Lone Ranger, pada saat Ikal ingin India, Arai menjadi seorang koboi, dan Jimbron satu keberhasilan terbesar Riri Riza di The Dreamer adalah pembangunan struktur kotak yang kompleks belum fasih Cina yang tidak pernah rumit. Film ini mungkin yang terbaik dan paling matang, berkat bagian liris di mana transisi tertentu seperti cut antara adegan dimana Arai dan Ikal adalah untuk melompat ke opslagcontainer ikan dan dip mereka di laut biru sinyal, yang penggunaan diskrit tapi intensif musik dan arah semakin meyakinkan para pelaku. Sekali lagi, pilihan kaum muda, protagonis intens, Vikri Septiawan, Rendy Ahmad dan Azwir Fitrianto, Riri Riza menegaskan insting luar biasa dalam menemukan wajah-wajah baru yang karismatik dengan kehadiran layar yang kuat, bergerak dan memenangkan hati para penonton. Yang manakah Film Sang Pemimpi dan tentang apa ? Film Asia, film mengejar cita-cita, film tentang dedikasi, film tentang keberanian, film tentang kehidupan, film tentang kesuksesan, film tentang makna hidup, film tentang moral, film tentang perjuangan, film tentang persahabatan Tahun Berapa Sang Pemimpi Rilis ? Film Tahun 2009 Siapa Sutradara Film Sang Pemimpi ? Riri Riza Siapa pemeran atau pemain Sang Pemimpi ? Mereka adalah aktor aktris terkenal diantaranya Ahmad Syaifullah, Ariel Noah, Lukman Sardi, Mathias Muchus, Maudy Ayunda, Nugie, Rieke Diah Pitaloka, Vikri Septiawan Tergolong genre apakah film Sang Pemimpi ? Film Drama, Film Indonesia, Film Keluarga Mengharukan, Film Lucu Paling KocakTrailer Sang Pemimpi 2009
5Followers, 0 Following, 3 Posts - See Instagram photos and videos from @layar.kaca.21
-/10 - Votes Gadis Pemimpi merupakan sebuah miniseri yang tayang di layar kaca kesayangan Anda yakni SCTV. Serta tayang di Vidio sehari setelah tayang di SCTV. Miniseri ini melibatkan beberapa aktor dan artis terkenal Indonesia seperti Adinda Azani, Ricky Harun dan Adhitya Alkatiri sebagai pemeran utama. Adinda Azani dan Adhitya Alkatiri merupakan aktris yang sebelumnya pernah berperan di Dua Dunia Salma 2019. Sedangkan lawan mainnya yaitu Ricky Harun, pernah memainkan beberapa judul sinetron, seperti Kun Anta 2 2019 dan Kesempatan Kedua 2019. Sebelum miniseri ini tayang, sebelumnya diisi oleh miniseri Topeng Kaca 2019. DetailSinopsis Pemeran UtamaPemeran PendukungOST Original SoundtrackTrailer Detail Judul Gadis Pemimpi Judul lain – Genre Drama, Roman, Komedi Negara Indonesia Sutradara Ninos Joned Produser Chand Parwez Servia Penulis Naskah Endik Koeswoyo Rumah Produksi Kharisma Starvision Plus Channel TV SCTV, Vidio Jumlah Episode 14 Episode Masa Tayang Mulai tanggal 2 September 2019 – 20 September 2019 Jadwal Tayang setiap Senin sampai Jumat pukul 1515 WIB foto instagram/sctv Sinopsis Ini merupakan kisah seorang perempuan bernama Cahaya, yang memiliki tekad yang kuat untuk menggapai mimpinya memiliki Wedding Organizer sendiri. Di perjalanan menggapai mimpinya, Cahaya bertemu dengan seorang laki-laki bernama Ale yang pada saat itu sedang mengendarai motornya untuk menuju suatu tempat. Lalu mereka berkenalan dan mulai akrab. Dari situ Ale pun lambat laun menyukai Cahaya. Hingga suatu ketika Cahaya pun melamar pekerjaan di suatu perusahaan yang dimiliki oleh seorang pemuda sukses bernama Dimas. Mereka pun bertemu dan berkenalan. Tidak lama kemudian, Dimas pun menyukai Cahaya, sama seperti apa yang dirasakan oleh Ale. Pemeran Utama Adinda Azani sebagai Cahaya Wanita muda dengan cita-cita memiliki Event Organizer sendiri. Ricky Harun sebagai Ale Pria baik hati, penolong dan berasal dari keluarga kaya raya. Dia berprofesi sebagai fotografer. Aditya Alkatiri sebagai Dimas Adik Ale yang menjalankan bisnis keluarga. Diam-diam ia iri kepada Ale serta ingin mendapatkan Cahaya sebelum Ale. Pemeran Pendukung Harry De Fretes sebagai Pak Abadi Ayah Cahaya yang baik dan penyayang. Joshua Pandelaki sebagai Pak Surya Ayah Ale dan Dimas yang memiliki watak keras. Dia juga direktur perusahaan. Ade Yunita sebagai Cintya Pacar Dimas yang sombong. Erlyan Carlen sebagai Dito Anak pak Jamal yang merupakan renternir. Dia menyukai Cahaya. Ikbal Fauzi sebagai Toni Pria yang menipu Cahaya dan Pak Abadi dengan membawa kabur uang 100 juta. Aquino Umar sebagai Dimas Erlin Sarintan sebagai Bu Dewi Santana sebagai Pak Jamal Daffa Syahputra sebagai Jalu Firzanah Alya sebagai Intan Yeni Agung OST Original Soundtrack Tentang Rindu — Virzha Trailer
eBook24 Wajah Billy - Free ebook download as PDF File (.pdf) or read book online for free. NOVEL
Karya Andrea HirataCetakan Pertama, Juli 2006Penyunting Imam RisdiyantoDesain dan ilustrasi sampul Andreas KusumahadiPemeriksa aksara Yayan aksara lyan oleh Penerbit BentangAnggota IKAPIPT Bentang PustakaJin. Pandega Padma 19,Yogyakarta 55284Telp. 0274 517373 - Faks. 0274 541441E-mail [email protected]Perpustakaan NasionalKatalog Dalam Terbitan KDTSang pemimpi/Andrea Hirata; penyunting, Imam AndreaYogyakarta Bentang,x + 292 hlm; 20,5 cmISBN 979-3062-92-4I. Imam olehMizan Media UtamaJin. Cinambo Cisaranten Wetan No. 146Ujungberung,Bandung 40294Telp. 022 7815500 - Faks. 022 7802288E-mail [email protected] aMozaik 1 What a Wonderful WorldDaftar Isi Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyatkataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langitterbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungicendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburanultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja,mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudutdermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yangmerebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa yang tambun dan invalid kakinya panjang sebelah terengah-engah di belakangku. Wajahnyapias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilat-kilat. Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruhkejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalamsituasi apapun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang-panting lupadiri karena dikejar-kejar seorang tokoh paling antagonis. Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkahsepatu terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi kerang-kerang halus. Kami Arai memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Ikal.... Aku tak kuatlagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian lihat para-para itu...?"Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depansana teronggok reyot pabrik cincau dan para-parajemuran daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyumenekuri nasib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja . Salah satunya aku kenal Laksmi . Sepertilaut, mereka diam . DangdutIndia dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk-liuk pilu dari pabrik itu."Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A Lung, dan membaur di anta a para pembeli tahu, aman...."Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya, ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untukmelempar kepalanya."Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama sekali! Jimbron mau kau apakan??!!"Jimbron yang penakut memohon putus asa."Aku tak bisa melompat, Kal...."Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo,Tionghoa tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang saudara. Ratusan tahun merekamenanggungkan sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kumpeni,ganas menindas orang-orang Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati Belanda, dan dijauhi orangMelayu membuat mereka selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan anjing untukmengejar orang yang tak dikenal. Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron, dan Araitinggal di salah satu los di pasar kumuh ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadikuli ngambat tukang pikul ikan di dermaga. Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimanamungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasisekeliling. Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless,menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudutgelap yang pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendungmenutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam,demikian dikota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapilamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel. Aku mundur, tegang dan hening, keheninganberaroma mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia alami jika ketakutan tubuhnyamenggigil, giginya gemeletuk, dan napasnya mendengus satu-satu. Bayangan tiga orang pria berkelebat,memutus sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan nasib buruk hanya beberapa kepingpapan tipis. Ketiga bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga tercium olehku bau keringatseorang pria kurus tinggi bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama pada emblem hitammurahan yang tersemat di dadanya MUSTAR M. DJAI'DIN, tercekat menahan napas. Sebelah punggungku basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonisitu. Wakil kepala SMA kami yang frustrasi berat. Ia Westerling berwajah tirus manis. Bibirnya tipis,kulitnya putih. Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Beradadekat dengannya, aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat, seperti pengaruh yang timbul darisepucuk Mustar menyandang semua julukan seram yang berhubungan dengan tata cara lama yang kerasdalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebihdari gelar itu ia adalah suhu tertinggi perguruan silat tradisional Melayu Macan Akar yang ditakuti."Berrrrandalll!!"Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk ituuntuk membersihkan emblem namanya yang berdebu. Aku melepaskan napas yang tertahan ketika iamembalikkan Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia, kampung kami tak 'kanpernah punya SMA. lasalah satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah SMA, sebuah SMA Negeri! Bukanmain! Dulu kami harus sekolah SMA ke Tanjong Pandan, 120 kilometer jauhnya. Sungguh hebat SMAkami itu, sebuah SMA Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar berubah menjadi monsterkarena justru anak lelaki satu-satunya tak diterima di SMA Negeri itu. Bayangkan, anaknya ditolak diSMA yang susah payah diusahakannya, sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya hanya 41, empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya rayaitu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan main. SMA ini segera menjadi menara gading takhta tertinggiintelektualitas di pesisir timur, maka ia mengandung makna dari setiap syair lagu "Godeamus Igitur" yangketika mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat orang merasa IQ-nya meningkat drastisbeberapa pita peresmian SMA ini adalah hari bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karenasaat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa gelap gulita matematika integral atau tata caramembuat buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di SMA. Tak perlu lagi menempuh 120kilometer ke Tanjong Pandan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu. Karena itu berbondong-bondonglahorang Melayu, Tionghoa, Sawang, dan orang-orang pulau berkerudung ingin menghirup candu ilmu diSMA itu. Tapi tak segampang itu. Seorang laki-laki muda nan putih kulitnya, elok parasnya, Drs. JulianIchsan Balia, sang Kepala Sekolah, yang juga seorang guru kesusastraan bermutu tinggi, di haripendaftaran memberi mereka pelajaran paling dasar tentang budi pekerti akademika."... Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar, tiang bender a ...," rayu seorang tauke berbisik agaranaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak tahu ibukota provinsinya sendiri Sumsel,mendapat kursi di SMA BukanMain ."Aha! Tawaran yang menggiurkan!!" Pak Balia meninggikan suaranya, sengaja mempermalukan tauke itudi tengah majelis. "Seperti Nicholas Beaurain digodaberbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu 'kankisah itu? 'Gairah Cinta di Hutan'? Guy de Maupassant?"Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa. Senyumnya tak enak."Bijaksana kalau kausumbangkan jam dindingmu itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara disana takbertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana pendapatmu?"Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja hantu. Dan saat itulah Pak Mustar, sangjawara yang temperamental, tak kuasa menahan dirinya. Tanpa memedulikan situasi, di depan orangbanyak ia memprotes Pak Balia, atasannya sendiri."Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua murid. Bicaralah baik-baik ...," bujuk Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya dari atas ke bawah, artinya kurang lebih, "...Sok idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ...." Benar saja."Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan kualifikasi anak saya dibanding anak-anaklain yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu?!"Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun,menyayangi anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih dari segala-galanya, sang rembulan,permata hati. Ayahku, yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha membekap telingaku dan telingaArai, anak angkat keluarga kami, agar tak mendengar pertengkaran yang sungguh tak patut ini. Tapi akumengelak. Maka kudengar jelas argumen cerdas Pak Balia, "0,25 itu berarti segala-galanya, Pak. Angkakecil seperempat itu adalah simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak menoleransipersekongkolan!!"Tersinggung berat, Pak Mustar muntab dan sertamerta memprovokasi, "Bagaimana para orangtua??Setuju dengan pendapat itu?!" la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan pinggang."Tanpa saya SMA ini tak 'kanpernah berdiri!! Saya babat alas di sini!!"Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar panji ahlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Iaseorang bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginya ini sudah keterlaluan, merongrongwibawa institusi pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi."Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untukmengkhianati aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini,terlalu banyak kongkalikong!!"Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia telanjur jengkel."Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkanpada khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini. NEM minimal 42, titik!! Tak bisaditawar-tawar!!"Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua. Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, makarepublik ini tak 'kanpernah berkenalan dengan istilah studi banding. Namun, akibatnya fatal. Setelahkejadian itu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan besi. Beliau menumpahkankekesalannya kepada para siswa yang diterima."Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anak-anak muda Melayu zaman sekarang." Demikianjargon pamungkas yang bertalu-talu juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represiftentara pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, "Masalah-masalah orang muda seperti akar rumputyang kusut. Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan gunting yang tajam!!"Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagarsekolah. Beliau berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang terlambat,termasuk aku, Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang terlambat justru mengejek PakMustar. Dengan sengaja, mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuanseperti monyet sirkus itu tak lain Arai!!Pak Mustar ngamuk. la meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar itu aku dan Jimbron sedang duduk penuhgaya di atas sepeda jengkinya yang butut. Sekelompoksiswi kelas satu yang juga terlambat nongkrong berderet-deret. Hanya aku dan Jimbron pejantan disana ."Kesempatan baik, Bron!!" aku girang, celingukan kiri kanan."Tak ada kompetisi!!"Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti buah mentega."Mmhhh ... mmhhaa ... mainkan, Kal!!"Tak membuang tempo, segera kami keluarkan segenap daya pesona yang kami miliki secarahabis-habisan untuk menarik perhatian putri-putri kecil semenanjung itu. Jimbron membunyikan kliningansepedanya dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang yang tak jelas. Sedangkan aku, sebagai siswa SMA yangcukup kreatif, telah lama memiliki taktik khusus untuk situasi semacam ini, yaitu mengaduk kepalakudengan minyakhijau ajaib Tancho yang selalu ada dalam tasku, menyisir seluruh rambutku ke belakang, lalu dengantangan dan tenaga penuh menariknya kembali. Maka muncullahbongkahan jambul berbinar-binar. Dan inilah puncak muslihat anak Melayu kampung di dekat parasiswi tadi, aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan tali sepatu, yang sebenarnya tidak apa-apa,sehingga ketika bangkit aku mendapat kesempatan menyibakkan jambulku sepertigaya pembantumembilas cucian. Ah, elegan, elegan sekali. Sangat Melayu!Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai Sang Maha Pencipta semacam penglihatanyang mampu menembus tulang-belulang, sehingga bagi mereka tubuhku transparan. Aku ada disana , hilirmudik pasang aksi seperti bebek, tapi mereka tak melihatku, sebab tak seorang pun ingin memedulikanlaki-laki yang berbau seperti ikan pari. Dan bukannya mendapat simpati, ketika melakukan gerakanmengayun jambul dengan sedikit putaran manis setengah lingkaran seperti aksi Jailhouse Rock ElvisPresley, aku malah terperanjat tak alang kepalang karena para siswi di depanku menjerit-jerit menatap sesuatu di belakangku seperti melihat sempat kusadari, secepat terkaman macan akar, secara amat mendadak, Pak Mustar telah berdiridi sampingku. Wajahnya yang dingin putih menyeringai kejam. Aku menjejalkan pijakan langkahku untukmelompat tapi terlambat. Pak Mustar merenggut kerah bajuku, menyentakku dengan keras hinggaseluruh kancing bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Akumeronta-ronta dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas!Lalu wuttthhhh!!! Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar menampar angin sebab aku merunduk. Akuberbalik, mencuri momentum dengan menumpukan seluruh tenaga pada tunjangan kaki kanan dansedetik kemudian aku melesat kabur."Berrrandallllll!!!"Suara Pak Mustar membahana. la serta-merta mengejarku dan berusaha menjambak rambutku dengantangan cakar macannya. Kedua penjaga sekolah tergopoh-gopoh menyusulnya. Segerombolan siswa,termasuk Arai dan Jimbron, semburat berhamburan ke berbagai arah. Dan yang paling sial adalah aku,selalu aku! Pak Mustar jelas-jelas hanya menyasar aku. Suara peluit penjaga sekolah Prriiiiiitttt... priiiiiiiiiittttt!!Aku berlari kencang menyusuri terali sekolah. Pengejarku juga sial karena aku adalah sprinter SMABukan Main. Seluruh siswa berhamburan menuju pagar, riuh menyemangatiku karena mereka membenciPak aku tak pernah diperhatikan seorang pun putri semenanjung, namun kini gadis-gadis manisMelayu itu, yang tadi tak sedikit pun mengacuhkan aku, melolong-lolong mendukungku."Ikal!! Ikal!! Ayo!! Ikal, lari!! Lariiiiiiii...!!"Tenagaku terbakar. Kulirik sejenak jejeran panjang tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya,berteriak-teriak histeris membelaku, hanya membelaku sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang lainnyamembekap dada, khawatir jagoannya ditangkap garong."Lari!! Lari Kal!! Lari, Sayang ...."Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali. Setiap langkahku terasa ringan laksana loncatan-loncatananggun antelopTibet . Walau gemetar ketakutan tapi aku melesat sambil tersenyum penuh arti. Bajukuyang tak berkancing berkibar-kibar seperti jubah Zorro. Aku merasa tampan, merasa menjadi yang terpenting, dalam kepanikan itu, sempat kutarik pelajaran moral nomor tujuh Ternyata rahasiamenarik perhatian seorang gadis adalah kita harus menjadi pelari yang menyeberangi jalan dan berlari kencang ke utara, memasuki gerbang pasar pagi. Pak Mustarbernafsu menangkapku, jaraknya semakin dekat. Aku ketakutan dan tergesa-gesa meloncati palang besiparkir sepeda. Celaka! Salah satu sepeda tersenggol. Lalu tukang parkir terpana melihat ratusan sepedayang telah dirapikannya susah payah, rebah satu per satu seperti permainan mendirikan kartu domino,menimbulkan kegaduhan yang luar biasa di pasar pagi. Aku terjerembap, bangkit, dan semakin seru saat aku melintasi pelataran dengan pilar-pilar menjulang yang dipenuhipedagang kakilima . Aku melesat meliuk-liuk di antara gerobak sayur dan ratusan pembeli. Pak Mustardan komplotannya lekat di belakangku. Suara peluit menjerit-jerit. Orang-orang berteriak gaduh. Akuberbelok tajam ke gang permukiman Kek yang panjang, berlari sekencang-kencangnya hingga mencapaiakselerasi sempurna. Pak Mustar ketinggalan di belakangku, semakin lama semakin jauh. Sebenarnyaaku dapat lolos jika tak memedulikan panggilan sial ini, "Ikal!! ... Ikal!!"Aku berbalik dan tepat disana ,lima belas meter dariku, baru saja berbelok dari sebuah mulut gang,Jimbron dan Arai terengah-engah saling berpegangan. Jika berlari, Jimbron yang invalid harus yang tadi semburat tak menyadari arah pelariannya melintasi jalur perburuan Pak Mustar."Ikal... tolong, Kal.... Tolong ...."Aku terkesiap, kasihan, dan kesal."Biang keladi! Cukup sudah aku dengan tabiatmu, Rai. Lihat! Macan itu akan menerkammu!!"Melihat sasaran nomplok tiba-tiba muncul di depannya, Pak Mustar sumringah dan kembali bernafsumemburu kami. Jimbron dan Arai terseok-seok tak berdaya. Aku ingin menyelamatkan Jimbronwalaupun benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang Jimbron dan beruntung kami beradadalam labirin gang yang membingungkan. Kami menyelinap, hingga akhirnya di gudang peti es inilah Mustar dan kedua penjaga sekolah mondar-mandir di luar tanpa menyadari kami ada di dalamgudang peti es. Tatapanku lekat pada setiap gerakan kecil Pak Mustar. Seakan dapat kurasakan setiaptarikan napasnya. Aku memiliki gambaran jelas tentang karakter orang seperti Pak Mustar. Pria-priaberwajah manis dan kekejaman mereka yang tak terbayangkan. Aku pernah mengunjungi uwakku yangmenjadi sipir di penjara Karimun. Di penjara itu kulihat pesakitan yang sangar, sok jago, dekil, omongbesar, dan bertato disana sini berada di blok A, dikurung beramai-ramai seperti ayam karena mereka taklebih dari pencuri ayam atau tukang nyolong jemuran. Namun, mereka yang sampai hati merampokTKW atau membunuh tanpa melepaskan rokok di mulutnya, berada di blok B, sel blok B adalah pria-pria kecil yang rapi, pintar, bersih, santun lisannya, dan manis sekalisenyumnya. Sejarah menunjukkan bahwa Alexander Agung yang membakar ribuan wanita dananak-anak, Cortez yang membantai orang Indian sampai menggenangkan darah setinggi lutut, semuapenjagal yang disebut legenda itu tak lain adalah pria-pria tampan berwajah manis. Maka berurusandengan Pak Mustar aku menyadari bahwa kami sedang berada dalam situasi yang tak dapat aku tak tahan di kandang mendidih berbau amis ini. Pun aku tak melihat celah untuk lolos. Akumenunggu keajaiban sebelum menyerahkan diri. Dan ia tak datang, harapanku habis. Aku berjalanmenuju pintu gudang diikuti Jimbron yang tiba-tiba kami terperanjat karena dentuman knalpot vespa Lambretta. Dan kami panik tak dapatmenguasai diri. Benar-benar sial berlipat-lipat sebab penunggang vespa itu adalah Nyonya Lam NyetPho, turunan prajurit Hupo, semacam capo, ketua preman pasar ikan. Ia pemilik gudang ini danpenguasa 16 perahu motor. Anak buahnya ratusan pria bersarung yang hidup di perahu dan tak pernahmelepaskan badik dari pinggangnya. Beperkara dengan nyonya ini urusan bisa runyam. Karena kamitelah menyelinap dalam gudangnya, pasti ia akan menuduh kami Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal, disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnyaseperti kucing tandang. Bahunya tegap, dadanya tinggi, dan raut mukanya seperti orang terkejut. Sesuaitradisi Hupo, ia bertato, lukisan naga menjalar dari punggung sampai ke bawah telinga, bersurai-suraidengan tinta Cina. Bengis, tega, sok kuasa, dan tak mau kalah tersirat jelas dari orangpembantu setia Nyonya Pho Parmin, Marmo, Paijo, Tarji, dan Nasio membuka pintu gudang. Gagalmenjadi petani jagung, para transmigran ini bermetamorfosis jadi kuli serabutan. Mesin Lambrettadimatikan dan aku diserang kesenyapan yang menggiriskan. Jimbron memeluk kedua kakinya dan mulaiterisak-isak. Tubuhku merosot lemas. Nasib kami di ujung tanduk. Namun dalam detik yang palinggenting, aku terkejut sebab ada tangan mengguncang pundakku, tangan Arai."Ikal!" bisiknya sambil melirik peti es. Aku paham maksudnya! Luar biasa dan sinting!!Itulah Arai dengan otaknya yang ganjil. Aku suspense. Otakku berputar cepat mengurai satu per satuperasaan cemas, ide yang memacu adrenalin, dan waktu yang sempit. Arai mencongkel gembok danmenyingkap tutup peti. Wajah kami seketika memerah saat bau amis yang mengendap lama peti mirip remah-remah pembantaian makhluk bawah laut. Sempat terpikir olehku untukmengurungkan rencana gila itu, tapi kami tak punya pilihan lain."Ikal! Masuk duluan!" perintah Arai sok berkilat mengancam Arai. Ingin sekali aku membenamkan kepalanya kemulut ikan hiu gergajiraksasa yang menganga di depanku. Itu penyiksaan karena berarti aku harus bersentuhan langsungdengan balok es di dasar peti dan menanggung beban tubuh Jimbron dan Arai. Berat Jimbron sendiri takkurang dari 75 kilo."Tak adil! Ini idemu Rai, kau masuk duluan!!""Jangan banyak protes! Badanmu paling kecil. Kalau tak masuk duluan, Jimbron tak bisa masuk!!"Aku merasa in charge. Aku pemimpin pelarian ini, maka hanya aku yang berhak membuat perintah."Tak sudi! Bagaimana pendapatmu, Bron?"Arai jengkel. "Ini bukan demokrasi! Atau kau mau berurusan dengan Capo?!"Aku melongok ke dasar peti. Aku tak sanggup."Tak bisa, Rai! Bisa kudisan aku kena umpan busuk itu...."Arai menyeringai seperti jin kurang sajen. Habis sudah kesabarannya dan meledaklah serapah khasnyayang legendaris."Kudisan?!! Kudisan katamu? Kau tak punya wewenang ilmiah untuk menentukan penyakit!!""Masuk!!"Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika dua tubuh kuli ngambat dengan berat tak kurang dari130 kilo menindihku. Tulang-tulangku melengkung. Jika bergeser, rasanya akan patah. Setiap tarikannapas perih menyayat-nyayat rusukku. Perutku ngilu seperti teriris karena diikat dinginnya sebatang balokes. Aku menggigit lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau anyir ikan busuk menusuk hidungkusampai ke ulu hati. Tatapan nanar bola mata mayat-mayat ikan kenangka yang terbelalak dan kelabumembuatku gugup. Nyonya Pho dan pembantunya memasuki gudang."Min, Mo, angkut yang ini!"Peti itu miring kami tercekat tapi sama sekali tak terangkat. Pembantu Nyonya Pho mencobaberkali-kali, masih tak terangkat. Peti itu membatu seperti menhir keramat. Nyonya Pho kecewa luar gudang Pak Mustar dan dua orang penjaga sekolah tadi tengah duduk merokok. Akumembayangkan sebuah kejadian janggal dan belum sempat kucerna firasatku, kejanggalan itu benarterjadi. Suara Nyonya Pho kembali menggelegar seperti pengkhotbah di puncak Bukit Golgota."Bujang! Tolong sini! Angkat peti ini ke stanplat. Daripada kalian merokok saja di situ, aya ya ... takberguna!"Sekarang delapan orang memikul peti dan peti meluncur menuju pasar pagi yang ramai. Di sekitar petitukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang Minang yang menjual baju di kakilima .Klakson sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut dengan jeritan mesin-mesin parut danketukan palu para tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan beradu nyaring dengan suarabising dari balon kecil yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku kurasakan satu per satudetakan jantung Jimbron, lambat namun keras, gelisah dan dengan Arai. Waktu peti melewati para pengamen ia menjentikkan jemarinya mengikutikerincing tamborin. Dan ia tersenyum. Aku mengerti bahwa baginya apa yang kami alami adalah sebuahpetualangan yang asyik. la melirikku yang terjepit tak berdaya, senyumnya semakin girang."Fantastik bukan?" pasti itu merasa takjub dengan kepribadian Arai. Tatapanku menghujam bola matanya, menyusupi lensa,selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk hatinya, ingin kulihat dunia dari dalam aku merasa seakan berdiri di balik pintu, pada sebuah temaram dini hari, mengamati ayahkuyang sedang duduk mendengarkan siaran radio BBC. Lalu lagu syahdu "What a Wonderful World"mengalir pelan. Seiring alunan lagu itu dari celah-celah peti kusaksikan pasar yang kumuh menjadimemesona. Anak-anak kecil Tionghoa yang membawa kado melompat-lompat harmonis bermain talidikelilingi gelembung-gelembung busa. Lalu-lalang kendaraan adalah serpihan-serpihan cahaya yangmelesat-lesat menembus fatamorgana aurora. Burung-burung camar mematuki cumi yang berjuntai dilubang-lubang peti, terbang labuh. Sayap-sayap kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunanmaranta. Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai? Beginikah seorang pemimpi melihat dunia?"Brragghh!!!"Lamunanku terhempas di atas meja baru pualam putih yang panjang. Kudengar langkah parapengangkat peti bergegas pergi. Kami menunggu dengan tegang detik demi detik berikutnya. Jantungkuberdetak satu persatu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati peti. Dan tibalah momen yangdramatis itu ketika Capo mengangkat tutup peti dan langsung, saat itu juga, ia menjerit yang memang sudah seperti orang terkejut membiru seperti anak kecil melihat hantu. Kamibertiga bangkit serentak tanpa Pho ternganga dan bibirnya bergetar-getar. Cerutunya merosot dan jatuh tanpa daya di ataslantai stanplat yang becek. Kami tak sedikit pun pembeli ikan terperangah menyaksikan kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yangpanjang tak berbaju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan udang rebon basi. Kami melenggangtenang dipimpin seorang laki-laki pemimpi yang hebat bukan main. Ketika kami melewatiNyonya Pho,iaterjajar hampir jatuh. Mukanya pias seakan ingin mati berdiri. Tangannya menunjuk-nunjuk komat-kamit mengucapkan kata-kata seperti orang tercekik."Ikkhhhh ... ikkhhh ... ikkha ... ikan duyung!!!"Mozaik 2 Simpai KeramatArai adalah orang kebanyakan. Laki-laki seperti ini selalu bertengkar dengan tukang parkir sepeda,meributkan uang dua ratus perak. Orang seperti ini sering duduk di bangku panjang kantor pegadaianmenunggu barangnya ditaksir. Barangnya itu dulang tembaga busuk kehijau-hijauan peninggalanneneknya. Kalau polisi menciduk gerombolan bromocorah pencuri kabel telepon, maka orang berwajahserupa Arai dinaikkan ke bak pick up, dibopong karena tulang keringnya dicuncung sepatu jatah jika menonton TVRI, kita biasa melihat orang seperti Arai meloncat-loncat di belakang presidenagar tampak oleh Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa-baru seni kriya yang baru pertama kalimenjamah tanah liat, pencetsana , melendung sini. Lebih tepatnya, perabotan di wajahnya seperti hasilsuntikan silikon dan mulai meleleh. Suaranya kering, serak, dan nyaring, persis vokalis mengambil nadafalseto—mungkin karena kebanyakan menangis waktu kecil. Gerak-geriknya canggung serupa belalangsembah. Tapi matanya istimewa. Di situlah pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sangjendela hati, adalah layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah aku dan Arai masih bertalian darah. Neneknya adalah adik kandung kakekku dari pihakibu. Namun sungguhmalang nasibnya, waktu ia kelas satu SD, ibunya wafat saat melahirkan baru enam tahun ketika itu, dan ayahnya, gemetar di samping jasad beku sang ibu yang memelukerat bayi merah bersimbah darah. Anak-beranak itu meninggal bersamaan. Lalu Arai tinggal berduadengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga teringat, beberapa hari setelah ayahnya meninggal, dengan menumpang truk kopra, aku dan ayahkumenjemput Arai. Sore itu ia sudah menunggu kami di depan tangga gubuknya, berdiri sendirian di tengahbelantara ladang tebu yang tak terurus. Anak kecil itu mengapit di ketiaknya karung kecampang berisibeberapa potong pakaian, sajadah, gayung tempurung kelapa, mainan buatannya sendiri, dan bingkaiplastik murahan berisi foto hitam putih ayah dan ibunya ketika pengantin baru. Sebatang potlot yangkumal ia selipkan di daun telinganya, penggaris kayu yang sudah patah disisipkan di pinggangnya. Tangankirinya menggenggam beberapa lembar buku tak bersampul. Celana dan bajunya dari kain belacu lusuhdengan kancing tak lengkap. Itulah seluruh harta bendanya. Sudah berjam-jam ia menunggu jelas wajah cemasnya menjadi lega ketika melihat kami. Aku membantu membawabuku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu dengan membiarkan pintudan jendela-jendelanya terbuka karena dipastikan tak 'kanada siapa-siapa untuk mengambil apa terumbu karang yang menjadi rumah ikan di dasar laut, gubuk itu akan segera menjadi sarangluak, atapnya akan menjadi lumbung telur burung kinantan, dan tiang-tiangnya akan menjadi istana menelusuri jalan setapak menerobos gulma yang lebih tinggi dari kami. Kerasak tumpah ruahmerubung jalan itu. Arai menengok ke belakang untuk melihat gubuknya terakhir kali. Ekspresinya ia berbalik cepat dan melangkah dengan tegap. Anak sekecil itu telah belajar menguatkan berlinangan air mata. Dipeluknya pundak Arai erat-erat. Di perjalanan aku tak banyak bicarakarena hatiku ngilu mengenangkan nasibmalang yang menimpa se-pupu jauhku ini. Ayahku duduk di atastumpukan kopra, memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang Arai. Aku dan Arai dudukberdampingan di pojok bak truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi berbatu-batu. Kami hanyadiam. Arai adalah sebatang pohon kara di tengahpadang karena hanya tinggal ia sendiri dari satu garisketurunan keluarganya. Ayah ibunya merupakan anak-anak tunggal dan kakek neneknya dari keduapihak orangtuanya juga telah tiada. Orang Melayu memberi julukan Simpai Keramat untuk orang terakhiryang tersisa dari suatu mengamati Arai. Kelihatan jelas kesusahan telah menderanya sepanjang hidup. Ia seusia dengankutapi tampak lebih dewasa. Sinar matanya jernih, polos sekali. Lalu tak dapat kutahankan air matakumengalir. Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan cobaan demikian beratsebagai Simpai Keramat. Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan lengan bajunya yangkumal. Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik ayahku yangmencuri-curi pandang kepada kami, wajah beliau sembap dan matanya semerah buah saga. Melihatkupilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya kedalam kacung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia."Ikal, lihatlah ini!!" dalam karung, ia mengeluarkan sebuah benda mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan akusemakin pedih membayangkan ia membuat mainan itu sendirian, memainkannya juga sendirian ditengah-tengah ladang tebu. Aku tersedu bagaimanapun perih aku tertarik. Mainan itu semacam gasing yang dibuat dari potongan-potonganlidi aren dan di ujung lidi-lidi itu ditancapkan beberapa butir buah kenari tua yang telah dilubangi. Sepintasbentuknya sepertii helikopter. Jalinan lidi pada mainan itu agaknya mengandung konstruksi mekanis. Akutergoda melihat Arai memutar-mutar benda itu setengah lingkaran untuk mengambil beberapa kali putaran, sebatang lidi besar yang menjadi tuas konstruksi itu melengkung lalu saatputaran terakhir dilepaskan, ajaib!Lengkungan tadi melawan arah menimbulkan tendangan tenaga balik yang memelintir gasing aneh inidengan sempurna 360 derajat, berulang-ulang. Lebih seru lagi putaran balik ini menyebabkan butir-butirkenari tadi saling beradu menimbulkan harmoni suara gemeretak yang menakjubkan. Aku tergelak. MataArai tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter purba ini, Araitelah memutarbalikkan logika sentimental ini. la justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnyamenghiburnya. Dadaku sesak."Cobalah, Ikal...."Aku merebut gasing aneh itu, mengamatinya dengan teliti bukan hanya sebagai mainan yang menarik hatitapi sebagai sebuah kisah tentang anak kecil yang menciptakan mainan untuk melupakan kepedihanhidupnya. Aku memutar gasing itu sekali, namun aku terperanjat sebab tiba-tiba ia berputar sendiridengan keras sehingga konstruksinya bingkas, lidi-lidinya patah, dan buah-buah kenari itu berhamburanke mukaku. Aku telah memutarnya terlalu kencang. Arai terkekeh melihatku. Ia memegangi perutnyamenahan tawa. Belum hilang rasa terkejutku, Arai kembali merogohkan tangannya ke dalam karungkecampang."Masih ada lagi!!"Ia tersenyum penuh arti karena tahu telah berhasil menghiburku. Kali ini ia mengeluarkan sebuah cupudari kayu medang yang berlubang-lubang. Biasa dipakai orang Melayu untuk menyimpan tembakau. Takkusangka cupu itu telah dibelah dan sambungannya tak kasat. Arai membukanya pelan-pelan."Aiih ... kumbang sagu!!"Aku memekik tak terkendali. Kumbang sagu, serangga mainan langka yang susah ditangkap. Jikadipelihara dan diberi makan remah kelapa, kumbang bersayap mengilat seperti tameng patriot Spartan itudapat menjadi jinak. Tak berkedip aku melihat Arai membiarkan kumbang itu merayapi kecil yang memesona itu meloncat-loncat kecil ingin terbang. Arai membelai serangga kecil itu,menggenggamnya dengan lembut lalu melemparkannya ke angin kencang di atas truk kumbang itu meregangkan sayap-sayapnya, mengapung sebentar,berputar-putar seolah merayakan kemerdekaannya lalu melesat menembus rimbun dedaunan kemang ditepi jalan. Lalu Arai melangkah menuju depan bak truk. la berdiri tegak disana serupa orang berdiri dihidung haluan kapal. Pelan-pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan angin menerpawajahnya. Ia tersenyum penuh semangat. Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya dari dukamengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan siapmenantang nasibnya. Jahitan kancing bajunya yang rapuh satu per satu terlepas hingga bajunyamelambai-lambai seperti sayap kumbang sagu tadi. Ia menggoyang-goyang tubuhnya bak rajawali diangkasa luas."Dunia...!! Sambutlah aku...!! Ini aku, Arai, datang untukmu ...!!" Pasti itu tersenyum mengepalkan tinjunya kuat-kuat dan aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi akujuga ingin menangis sekeras-kerasnya Mozaik 3 The Lone RangerAku dan Arai ditakdirkan seperti sebatang jarum di atas meja dan magnet di bawahnya. Sejak kecilkami melekat kesana kemari. Aku semakin dekat dengannya karena jarak antara aku dan abangpangkuanku, abangku langsung, sangat jauh. Arai adalah saudara sekaligus sahabat terbaik buatku. Danmeskipun kami seusia, ia lebih abang dari abang mana pun. Ia selalu melindungiku. Sikap itu tecermin darihal-hal paling kecil. Jika kami bermain melawan bajak laut di Selat Malaka dan aku sebagai Hang Tuah,maka ia adalah Hang Lekir. Dalam sandiwara memerangi kaum Quraishi pada acara di balai desa, akuberperan selaku Khalifah Abu Bakar, Arai berkeras ingin menjadi panglima besar Hamzah. Jika akuBatman, ia ingin menjadi Robin atau paling tidak menjadi kelelawar. Jika di kampung anak-anak bermainmemperebutkan kapuk yang beterbangan dari pohonnya seperti hujan salju, Arai akan menjulangku dipundaknya, sepanjang sore berputar-putar di lapangan tak kenal lelah, tak pernah mau kugantikan. lamengejar layangan untukku, memetik buah delima di puncak pohonnya hanya untukku, mengajarikuberenang, menyelam, dan menjalin pukat. Sering bangun tidur aku menemukan kuaci, permen gulamerah, bahkan mainan kecil dari tanah liat sudah ada di saku bajuku. Arai diam-diam seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remajamulai bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku mencari akar banar untuk dijual kepada penjualikan. Akar ini digunakan penjual ikan untuk menusuk insang ikan agar mudah ditenteng pembeli. Dia jugayang mengajakku mengambil akar purun perdu yang tumbuh di rawa-rawa yang kami jual padapedagang kelontong untuk mengikat bungkus terasi. Waktu itu kami ingin sekali menjadi caddy dipadanggolf PN Timah tapi belum cukup umur. Kami masih SMP. Untuk jadi caddy, paling tidak harus melihat aksi Arai di bak truk kopra tempo hari, aku mengerti bahwa ia adalah pribadi yangistimewa. Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia sangat muda tapi ia selalu positif danberjiwa seluas langit. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum pada kepribadian dan dayahidupnya. Kesedihan hanya tampak padanya ketika ia mengaji Al-Qur'an. Di hadapan kitab suci itu iaseperti orang mengadu, seperti orang yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang melawan rasakehilangan seluruh orang yang dicintainya. Setiap habis magrib Arai melantunkan ayat-ayat suciAl-Qur'an di bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah kami terdiam. Suaranya sekeringranggas yang menusuk-nusuk malam. Ratap lirihnya mengirisku, menyeretku ke sebuah gubuk di tengahladang tebu. Setiap lekukan tajwid yang dilantunkan hati muda itu adalah sayat kerinduan yang taktertanggungkan pada Arai mengaji, pikiranku lekat pada anak kecil yang mengapit karung kecampang, berbaju sepertiperca dengan kancing tak lengkap, berdiri sendirian di muka tangga gubuknya, cemas menunggu harapanmenjemputnya. Jika Arai mengaji, aku bergegas menuruni tangga rumah panggung kami, kemudian berlarisekuat tenaga menerabas ilalang menuju lapangan di tepi kampung. Di tengah lapangan itu aku berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu ingin tahu dan terus bertanya, Araiberkembang menjadi anak yang pintar. la selalu ingin mencoba sesuatu yang baru."Oh, amboi, Ikal... tengoklah ini! Model rambut paling mutakhir! Aiiihhh.... Toni Koeswoyo, rambutbelah tengahnya itu! Elok bukan buatan! Lihatlah, Kal, semua pemain Koes Plus rambutnya belahtengah!"Demikian hasutan Arai sambil mengagumi foto Koes Plus di sampul buku PKK-nya. la telahmenerapkan belah tengah seminggu sebelumnya dan tak sedikit pun kulihat nilai tambah pada karena Arai memang diberkahi dengan bakat menghasut, maka aku termakan juga. Ketikabecermin, aku sempat tak kenal pada diriku sendiri. Aku gugup bukan main saat pertama kali keluarkamar dengangaya rambut Toni Koeswoyo itu. Aku berdiri mematung di ambang pintu karenaabang-abangku menertawakan aku sampai berguling-guling."Ha ha ha! Lihatlah orang-orangan ladang!!" ejek mereka bersahut-sahutan seperti segerombolan lutungberebut ketela rambat. Rasanya aku ingin kabur masuk kembali ke kamar. Aku tak menyalahkan merekakarena aku memang mirip orang-orangan ladang. Rambutku yang ikal, panjang, dan tipis ketika dibelahtengah lepek di atasnya namun ujung-ujungnya jatuh melengkung lentik di atas pundakku. Persis ekorangsa. Aku menyesal telah mengubah sisiranku dan di ambang pintu kamar itu aku demam panggungsebelum memperlihatkan penampilan baruku pada dunia. Tapi pada saat aku akan melangkah mundur,Arai serta-merta menghampiriku."Jangan takut, Tonto ...," ia menguatkan aku dengangaya Lone menggenggam tanganku erat-erat dan menuntunku dengan gagah berani melewati ruang tengahrumah. Dalam dukungan Arai, aku tak sedikit pun gentar menghadapi badai cemoohan. Papan-papanpanjang lantai rumah berderak-derak ketika kami berdua melangkah penuhgaya .Demikianlah, arti Arai bagiku. Maka sejak Arai tinggal di rumah kami, tak kepalang senang hatiku. Akusemakin gembira karena kami diperbolehkan menempati kamar hanya untuk kami berdua. Walaupunkamar kami hanyalah gudang peregasan, jauh lebih baik daripada tidur di tengah rumah,bertumpuk-tumpuk seperti pindang bersama abang-abangku yang kuli, bau keringat, dan adalah peti papan besar tempat menyimpan padi. Orangtuaku dan sebagian besar orangMelayu seangkatan mereka demikian trauma pada pendudukan Jepang maka di setiap rumah pasti adaperegasan. Padi di dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah disimpanpuluhan tahun. Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi bermacam-macam kutu dan keluargatikus berbulu kelabu yang turun-temurun beranak pinak di situ. Namun, jangan sekali-sekalimembicarakan soal peregasan. Ini perkara sensitif. Jika sedikit saja kami menyinggung soalperegasan, misalnya kenapa padi lapuk itu tak dibakar saja, maka ibuku, sambil bersungut-sungut, akanmelantunkan sabda rutinnya yang membuat kami "Kalian tak tahu apa-apa soal kesulitan hidup kecuali kalian hidup di zaman Jepang."Latar belakang masalah "Pernahkah kalian melihat kaum pria bercelana karung goni sehingga kulitnyakeras seperti kulit beduk? Aiii...."Kesimpulan "Padi itu akan tetap di situ. Melihat keadaan negara sekarang, bisa-bisa Jepang datanglagi!!"Rekomendasi "Maka Bujang-bujangku, daripada kaupusingkan soal padi itu, lebih berguna hidupmujika kaupetikkan aku daun sirih!!"Paraorangtua Melayu tahu persis bahwa padi di dalam peregasan sudah tak bisa dimakan. Namun, bagimereka peregasan adalah metafora, budaya, dan perlambang yang mewakili periode gelap selama tigasetengah tahun Jepang menindas mereka. Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan lambat launbisa menjelma menjadi nostalgia romantik yang tak ingin 4 Biola NurmiSore yang indah. Perkebunan kepala sawit di kaki gunung sebelah timur kampung kami seperti garispanjang yang membelah matahari. Bagian bawahnya menyingsingkan fajar di negeri-negeri orang berkulitpucat dan sisa setengah di atasnya menyemburkan lazuardi merah menyala-nyala. Dan pada momen yangspektakuler itu aku tengah membicarakan persoalan yang sangat serius dengan Arai melalui membahas kerusakan lingkungan karena ulah PN Timah dan jumlah ganti rugi yang akan kamituntut karena tanah ulayat kami rusak berantakan."Tiga miliar untuk air minum yang tercemar phyrite, empat miliar untuk risiko kontaminasi radio aktif,tujuh miliar kompensasi beban psikologis karena kesenjangan sosial, dan dua miliar untuk hancurnyahabitat pelanduk," usul Arai duduk santai di atas talang mendengarkan usulannya melalui pesawat telepon kaleng susu Benderayang dihubungkan dengan kawat nyamuk. Arai meneleponku melalui kaleng Botan, posisinya di itulah seorang wanita gemuk berjilbab yang matanya bengkak memasuki setengah baya itu Mak Cik Maryamah, datang bersama putrinya dan seperti ibunya, matamereka bengkak, semuanya habis dan Arai berlari menuju Mak Cik tapi ibuku lebih dulu menghampiri mereka."Kakak ...," Mak Cik memelas."Kalau masih ada beras, tolonglah pinjami kami ...."Air mata Mak Cik meleleh. Kesusahan seakan tercetak di keningnya. Lahir untuk susah, demikianstempelnya. Putrinya yang terkecil tertidur pulas dalam dekapannya. Yang tertua, Nurmi yang kurus tinggikurang gizi itu, baru kelas dua SMP, sama denganku dan Arai, tampak tertekan batinnya. la memelukerat sebuah koper hitam lusuh berisi biola. Dia seorang pemain biola berbakat. Ingin menjadi musisi,itulah impian terbesarnya. Bakat dan biola itu diwarisinya dari kakeknya, ketua gambus kampung tiga kali Minggu ini Mak Cik datang meminjam beras. Keluarga kami memang miskin tapi MakCik lebih tak beruntung. la tak berdaya karena tak lagi dipedulikan suaminya, antara lain karena ia hanyabisa melahirkan anak-anak perempuan memberi isyarat dan Arai melesat ke gudang peregasan. Ia memasukkan beberapa takar beras kedalam karung, kembali ke pekarangan, memberikan karung beras itu kepada ibuku yang kemudianmelungsurkannya kepada Mak Cik."Ambillah...."Mak Cik menerimanya dengan canggung dan berat hati. Aku tak sampai hati melihatnya. Ia berkataterbata-bata, "Tak 'kanmampu kami menggantinya, Kak...."Lalu Mak Cik menatap Nurmi. Wajahnya menanggungkan perasaan tak sampai hati namun beliaubenar-benar tak punya pilihan lain."Hanya biola ini milik kami yang masih berharga," ucapnya memeluk biolanya kuat-kuat. Air matanya mengalir. Ia tak rela melepaskan biola itu."Nurmi...," panggil berupaya keras menguat-nguatkan dirinya. Ia mendekati ibuku. Langkahnya terseret-seret untukmenyerahkan koper biolanya. Air matanya tersenyum memandangi Nurmi."Jangan sekali-kali kaupisahkan Nurmi dari biola ini, Maryamah. Kalau berasmu habis, datang lagi kesini."Nurmi cepat-cepat menarik tangannya dan kembali memeluk biolanya kuat-kuat. la tersedu sedan. Kamimengiringi Mak Cik keluar pekarangan dan memandangi anak-beranak itu berjalan menjauh. Nurmimelangkah paling cepat mendahului ibu dan adik-adiknya seakan ia ingin segera pulang Arai berkaca-kaca melihat Mak Cik bergandengan tangan dengan anak-anaknya sambilmenenteng setengah karung beras. Lalu aku heran melihat ekspresi Arai. Sulit kuartikan makna airmukanya dingin, datar, dan gundah. Kulihat ketidakpuasan, ada juga kilatan kemarahan. Lebih dari itu,kulihat sebuah rencana yang aneh. Instingku mengabari bahwa sesuatu yang dramatis pasti sedangberkecamuk dalam kepala manusia nyentrik saja, tiba-tiba Arai membanting telepon kaleng botan dan menyeretku ke gudang peregasan. Akuterbengong-bengong melihat tingkah Arai. Ibuku sibuk menggulung kabel telepon yang kami semakin tak mengerti waktu Arai bergegas membuka tutup peregasan, mengambil celengan ayamjagonya, dan tanpa ragu menghempaskannya. Uang logam berserakan di lantai. Napasnya memburu danmatanya nanar menatapku saat ia mengumpulkan uang koin. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun danpada detik itu aku langsung terperangkap dalam undangan ganjil dari sorot matanya. Seperti tersihir akutergoda pada berbagai kemungkinan yang ditawarkan kelakuan sintingnya. Tanpa berpikir panjang akumenjangkau celenganku di dasar peregasan dan melemparkannya ke dinding. Aku terpana melihatkoin-koin tabunganku berhamburan, baru kali ini aku memecahkan ayam jago dari tanah Hat terkekeh. Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku juga tak secuil pun tahu apa rencana kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang begitu kuat pada sang Simpai Keramat inimungkin sebagai kompensasi kepedihan masa kecilnya. Hanya dengan menatap, ia mampu mungkin juga aku bertindak tolol karena persekongkolan kami sudah mendarah daging."Kumpulkan semua, Ikal!!" perintahnya bersemangat. "Masukkan ke dalam karung gandum." Koin-koinitu hampir seperempat karung gandum.'Ayo ikut aku, cepat!! Pakai dua sepeda!!" Kami berlari menuju sepeda sambil menenteng karunggandum yang berat gemerincing. Kelakuan kami persis perampok telepon koin. Arai mengayuh sepedaseperti orang menyelamatkan diri dari letusan gunung berapi. Di luar pekarangan ia menikung tajamdalam kecepatan tinggi. Aku pontang-panting mengikutinya dengan hati penasaran. Yang terpikir olehkukami akan menghibahkan tabungan kami untuk Mak Cik. Mengingat kesulitan Mak Cik, aku takkeberatan. Tapi ketika sepeda melewati perempatan, Arai berbelok ke kiri. Aku tersengal-sengalmemanggilnya."Rai!! Mau ke mana??!!" Jika ingin ke rumah Mak Cik, seharusnya ia belok kanan."Aku tahu, Kal. Ikut saja!!" Maka layar pun digulung dan drama ngebut, sepedanya terpantul-pantul di atas jalan pasir meluapkan debu berwarna kuning. Akuzigzag di belakangnya untuk menghindari debu. Aku terheran-heran pada kelakuan Arai tapi menikmatiketegangan pengalaman hebat ini. Dua orang bersepeda beriringan kejar-mengejar dengan kecepatantinggi sambil membawa karung uang. Bukankah kami seperti buronan di film-film?Arai jelas sedang menuju ke pasar. Tak dapat kuduga apa maksudnya. Begitulah Arai, isi kepalanyatak'kan pernah dapat ditebak. Di depan toko A Siong ia berhenti. Dia turun dari sepeda danmenghampiriku yang kehabisan napas. la mengambil karung uang yang sedang kusandang. Sambilmengumbar senyum tengiknya dia mengedipkan sebelah mata sembari mengeluarkan suara "khekkh!!"persis tekukur dilindas pasti memasuki toko A Siong. Aku was was mengantisipasi tindakannya. Aku tak rela uangjerih payah berjualan tali purun itu dihamburkannya untuk hal yang konyol. Perlu diketahui, untukmenebas purun harus berendam dalam rawa setinggi dada dengan risiko ditelan buaya seperti biasanya Arai selalu meyakinkan. Lihatlah ekspresi dan gayanya berjalan. Aku terhipnotisoleh kekuatan kepercayaan dirinya. Aku seperti kerbau dicucuk hidung, digiring kepejagalan pun manutsaja. Bahkan hanya untuk bertanya mulutku telanjur kelu. Kami memasuki toko yang kelontong berjejal-jejal di rak-rak yang tinggi. Arai berhenti sebentar di tengah tokopersis di bawah sebuah fan besar berdiameter hampir dua meter dan berputar sangat kencang wuttth ...wuttth ... wutttthh. Istri A Siong besar di Hongkong. Hanya fan untuk pabrik itu yang membuatnya betahtinggal di Belitong yang panas. Arai membuka kancing atas bajunya, menengadahkan wajahnya, danketika angin fan membasuh wajahnya yang bersimbah peluh ia terpejam syahdu, sebuahgaya yang ia menghampiri istri A Siong. Nyonya ini sedang mengepang rambut putrinya, Mei Mei. Siapa punyang melihat gadis kecil ini akan segera teringat pada tofu. Mereka berdua gendut-gendut tapi cantik."Prranggggg!!!"Arai menumpahkan isi karung gandum tadi di atas meja kaca. Nyonya Tionghoa yang punya namasangat bagus itu Deborah Wong melompat terkejut melihat uang logam membukit seperti tumpeng."Ayya ... ya ... ya ... Lui...!!"Ibu mertua Nyonya Deborah yang berumur hampir seratus tahun dan sedang duduk juga ini tak pernah tersenyum. Bajunya, kulitnya, rambutnya, alisnya, gusinya yang sudah tak ditenggerisebijipun gigi, dan kucingnya, semuanya berwarna kelabu. Murung. Itulah kesan keseluruhan ia melalui hari demi hari dipenuhi perasaan muak. Wajahnya selalu kesal mengapa malaikatmaut tak kunjung menjemputnya. Ia tak tertarik lagi dengan kehidupan. Mendengar gemerincing koinyang ribut, ia merasa terganggu, mukanya menyeringai marah."Nyah ...," seru Arai pada Nyonya Deborah. Santun dan berwibawa, seolah ia akan memborong seluruhisi toko dengan koin-koin itu."Terigu 10 kilo, gandum 10 kilo, gula ...." Aku terkejut tak kepalang."Rai! Apa-apaan ini?!""Untuk apa segala terigu ...." Tangkas, Arai menekan jarinya di atas mulutku."Sstttt!!Diam,Kal.""Nyah, jangan lupa minyak ...." Kutepis tangannya dengan marah, Arai tersentak."Diamlah, Ikal. Lihat saja ...." Langsung kupotong, "Ke mana pikiranmu, Rail! Sudah setahun lebih kitamenabung!!""Tong! Tong! Tong!! Tong! Tong!!" Sang ibu mertua Nyonya Deborah menampar-namparkan piringkaleng tempat makanan kucing, menyuruh kami diam."Sabar, ....""Tak ada sabar!!""Ini penting, Kal. Bahan-bahan ini akan ....""Tak ada penting!! Lupakah kau untuk apa kita susah payah menabung??!!"Arai marah karena alasannya kupotong terus. Dia geram karena aku tak mau mendengar penjelasannya."Ya Tuhan, jangan lagi aku dipertemukan dengan orang ini!!!"Aku melompat menuju tumpukan koin, membuka karung gandum dan meraup permukaan meja untukmelungsurkan koin-koin itu kembali ke dalam karung. Arai tak tinggal diam. Disambarnya tanganku dandikekangnya tubuhku dari belakang seperti pegulat tradisionalIran . Terjadi tarik-menarik yang serumemperebutkan gunungan uang koin. Meja kaca bergoyang-goyang hebat. Nyonya Deborah terperanjatmelihat pergumulangaya koboi di tokonya."Tagem!!! Taggeeeeeem!!"Nyonya Deborah menjerit ketakutan memanggil-manggil Tagem, kulinya. Kuli Sawang itu tengahbersandar kelelahan mengipasi dadanya dengan sobekan kardus di pokok pohon seri di muka kendaraan menelan teriakan Nyonya Deborah. Anehnya putri kecil Mei Mei justru senangbukan main melihat kami beradu otot. la cekikikan, bertepuk tangan, dan ia jelas memihakku. Tanpapeduli duduk perkaranya, anak kecil pasti akan memihak orang yang berpenampilan lebih apik. Bagianak TK itu, aku yang berkulit lebih terang dan keriting adalah jagoannya, pangeran penumpaskejahatan. Bentuk rahang Arai yang aneh pasti telah membuatnya menduga kalau Arai penjahat."Ayo, Abang Keliting, sepak!! Sepak!! Kik ... kik ... kik ... hi... hi... sepak!! Tendang pelutnya!!"Adu tenaga semakin dahsyat karena Arai berhasil mengekang kedua tanganku. Ia unggul karenabadannya lebih besar. Ia memitingku dari belakang dan memepetkan tubuhku ke lemari dagangantembakau. Aku menguik ketika terjajar menghantam lemari Mei semakin girang. Gadis cilik yang tak kenal takut itu naik ke atas meja. Ibunya hilir mudikketakutan."Ayo, tinju, Bang. Talik lambutnya ...."Aku dan Arai berusaha sekuat tenaga saling mengalahkan. Mei Mei yang gendut berlari-lari di atas mejaseperti wasit tinju. Mulutnya berkicau-kicau tak keruan." Saudala-saudala, datanglah belamai-lamai!! Inilah peltandingan antala pendekal keliting melawan ...."Mei Mei terdiam menatap Arai. Kami juga terdiam, serentak menoleh padanya. Dengan ekspresilugunya, putri kecil itu mengamati wajah Arai lalu ia berteriak ngeri, "Dlakulaaaaaaa ...!!!"Arai tersinggung berat dan menumpahkan kekesalannya padaku. Ia menjepit leherku dengan tekukansikunya. Tapi seperti kucing yang dimasukkan ke dalam karung, aku memberontak sejadi-jadinya. Ibumertua Nyonya Deborah memaki-maki namun anehnya kemudian ia tertawa. Pek!! Pek!! Pek!! Pek!!Pek!! Ia bertepuk tangan dengan pinggan kaleng tadi seperti orang main tamborin. Ia menunjuk-nunjukaku sambil mengepalkan tinjunya, kakinya menyepak-nyepak. Beliau jelas memihak mendapat dukungan, Arai semakin beringas. Ia mendorongku ke lemari tembakau. Sebaliknya,aku semakin liar melawannya. Rak tembakau yang terbuat dari batangan besi setinggi tiga meter denganberat ratusan kilo mulai bergoyang. Jika rak ini tumbang, seisi toko bisa celaka."Tageeeeeeeeemmm!! Puik Tageeeeeemmmmm!!!"Nyonya Deborah berteriak histeris. Karena panik, Nyonya Deborah terpaksa memakai kata puik,sebuah makian dalam bahasa Sawang. Tagem masih tenang-tenang saja. la malah melambai-lambai,menggoda iringan wanita penjaga toko. Sebaliknya, melihat pertarungan semakin dahsyat, Mei Meigirang tak kepalang. la menjerit-jerit seperti burung prigantil yang dicabuti bulunya."Ayo, Abang Keliting, sepak!! Tinju!!"Semangatku terpompa. Aku merasa memiliki tenaga ekstra sebab aku yakin sedang membelakebenaran. Aku meronta sejadi-jadinya dari kuncian Arai, menggelinjang seperti belut sehingga lemariraksasa itu limbung dan tiba-tiba ....Shrrrookkkk... braggghhh... brruukkkk!!! Brruuk-kkk!!!Brruukkkk!!!Tiga karung kertas yang berisi kapuk berjatuhan dari rak lemari tembakau. Karung-karung itu pecahberantakan dan gumpalan-gumpalan kapuk yang berbentuk seperti awan terhambur memenuhi tampak olehku pemandangan yang menakjubkan karena fan besar di tengah ruangan mengisapkapuk di atas lantai dan ribuan awan-awan putih kecil berdesingan melingkar naik ke atas, indah danharmonis membentuk spiral seperti angin Mei terpana melihat pemandangan ajaib itu. Mulut mungilnya yang dari tadi berkicau kini terkuncilalu pelan-pelan menganga seperti ikan mas koki. la tertegun saat pusaran kapas itu maju mundurmendekatinya. Mata bulat buah hamlam-nya bersinar-sinar seakan ia melihat sesosok malaikat yangbesar, tampan, dan bersayap melayang-layang ingin memeluknya. Mei Mei pucat pasi karena terpukaudalam ketakutan yang kaleng yang tengah digenggam ibu mertua Nyonya A Siong terjatuh tanpa disadarinya laluberguling-guling ke tengah ruangan toko. Nyonya Deborah sendiri berhenti berteriak. Wutthh ... wutthh... wutthhhh suara fan besar menggulung setiap gumpalan kapuk seperti jutaan kunang-kunang yangserentak melepaskan kunciannya dari tubuhku. Ia menengadah."Subhanallah ....""Subhanallah Ikal, lihatlah itu ...."Kepalaku berputar-putar mengikuti kisaran angin tornado awan-awan kapuk yang terkumpul ke atasdan terapung-apung memenuhi plafon sehingga toko kelontong itu seperti berada di atas awan, sepertihanyut di langit. Semua orang yang ada di dalam toko bungkam karena terperangah. Kami memandangilangit-langit toko yang dipenuhi kapuk seperti awan yang semakin sensasional ketika Nyonya Deborah mematikan fan dan saat itu pula awan-awankecil itu berjatuhan, melayang-layang dengan lembut tanpa Mei berteriak-teriak girang sambil melompat-lompat, "Hujan saljuuuuuuu...."Mei Mei menangkap awan-awan kecil yang berjatuhan. Ibunya menghampiri anaknya, menari berputar-putar di bawah hujan salju. Aku dan Arai bersandar kelelahan. Di bawah hujansalju yang memesona pertikaian kami telah berakhir dengan damai."Arai, kita memerlukan tabungan itu.""Aku tak punya banyak waktu, Kal....""Nanti kujelaskan. Ikuti saja rencanaku, percayalah...."Aku menatap mata Arai dalam-dalam. Dia memang aneh tapi aku tahu tak ada bibit culas dalam luar kami lihat Tagem berjalan gontai memasuki toko. Di ambang pintu ia berteriak, "Puik Tagem!!" laterkejut melihat toko telah kacau-balau dan menjadi putih, sementara juragannya bersukariabermain-main di bawah hujan kapuk dan mertua Nyonya Deborah bertepuk tangan dengan piring kembali bersepeda dengan tergesa-gesa, meliuk-liuk membawa karung gandum dan terigu. Diperempatan Arai belok kiri. Aku masih tak mengerti maksud Arai waktu ia memasuki pekarangan rumahMak Cik Maryamah. Kami masuk ke dalam rumah yang senyap. Dari dalam kamar, sayup terdengarNurmi sedang menggesek biola. Arai menyerahkan karung-karung tadi pada Mak Cik. Beliauterkaget-kaget. Lalu aku tertegun mendengar rencana Arai dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cikmembuat kue dan kami yang akan menjualnya."Mulai sekarang, Mak Cik akan punya penghasilan!" sera Arai Mak Cik barkaca-kaca. Seribu terima kasih seolah tak'kancukup yang dari tadi kaku karena tegang mengantisipasi rencana Arai kini pelan-pelan merosotsehingga aku terduduk di balik daun pintu. Aku menunduk dan memeluk lututku yang tertekuk. Akumerasa sangat malu pada diriku sendiri. Bibirku bergetar menahan rasa haru pada putihnya hati Arai. Airmataku mengalir pelan. Sungguh tak sedikit pun kuduga Arai merencanakan sesuatu yang sangat muliauntuk Mak Cik. Sebuah rencana yang akan kudukung habis-habisan. Sejak itu, aku mengenal bagianpaling menarik dari Arai, yaitu ia mampu melihat keindahan di balik sesuatu, keindahanyang hanya biasa orang temui di dalam mimpi-mimpi. Maka Arai adalah seorang pemimpi yangsesungguhnya, seorang pemimpi sejati. Dan sejak itu, kami naik pangkat dari penebas akar banar danpencabut rumpun purun menjadi penjual kue basah. Karena sasaran pasar kami adalah orang-orangbersarung, maka kami berjualan dari perahu ke perahu. Jika ada pertandingan sepak bola, kamiberjualan di pinggir lapangan bola. Penghasilan sebagai penjual kue rupanya jauh lebih baik dari penjualakar banar. Yang paling menggembirakan, Mak Cik tak perlu lagi meminjam beras ke berikutnya kami berganti dari satu profesi ke profesi lain untuk membantu keluar dari kamarnya, Nurmi terkejut melihat karung-karung gandum dan tepung terigu. Dan iaterhenyak mendengar rencana Arai. Wajahnya sembap, namun Arai serta-merta menghiburnya."Adinda, sudikah membawakan sebuah lagu untuk Abang?"Nurmi tersenyum."'Juwita Malam'. Abang ingin lagu 'Juwita Malam'."Kami mengambil tempat duduk di dapur yang kumal itu, siap menyimak Nurmi. Dan sore yang sangatindah itu semakin memesona karena gesekan syahdu biola Nurmi. Merinding aku mendengar jeritanpanjang biola yang meliuk-liuk pilu, jauh, dalam, dan tegar. Nurmi membawakannya dengan sepenuhjiwa seakan Arai adalah pahlawan keluarganya yang baru turun dari malum, siapakah gerangan puanJuwita malam, dari bulankah puan ....Mozaik 5 Tuhan Tau, tapi menungguAku dan Arai beruntung sempat melihat aksinya. Ketika itu kami masih kelas empat sekolah dasar. lasungguh-sungguh pria tua jempolan. A Put namanya, terpesona aku dibuatnya. Waktu itu akumenganggapnya manusia paling hebat ketiga di dunia ini setelah ayahku dan seorang laki-laki berjanggutlebat, senang memakai jubah, bermata syahdu meradang yang tinggal diJakarta dan menciptakan lagumerdu berjudul "Begadang". Kami merasa beruntung sempat menyaksikan kepiawaian A Put sebabketika ia wafat ilmunya terkubur bersama dirinya. Tak ada yang mewarisinya. Anak cucunya malah malumembicarakan ilmu unik A Put yang mungkin hanya dikuasainya sendiri sejagat raya itu A Put duduk santai mengisap cangklong. Sarung bawahannya, kaus kutang bajunya, sandaljepit alas kakinya, tujuh puluh tahun usianya. Pasiennya nongkrong meringis-ringis persis anak-anakkucing tercebur ke kolam kangkung. A Put adalah dokter gigi kampung kami, dukun gigi lebih mendapat ilmunya dari peri tempayan, laki-laki Hokian itu sungguh sakti kondang sampai ke Tanjong Pandan. Bagaimana tidak, ia mampu menyembuhkan sakit gigitanpa menyentuh gigi busuk itu. Bahkan tanpa melihatnya. Alat diagnosisnya hanya sepotong balok,sebilah palu, dan sebatang paku. Ruang praktiknya adalah lingkar teduh daun pohon nangka dan ia hanyaberpraktik berdasarkan suasana hati. Gigi-giginya sendiri tonggos hitam-hitam."Ini? Ini katamu! Aya, ya... tolol sekali! Yang betul! Ini? Di sini? Yakin?" Begitu pertanyaan A Put padapasiennya. Ia menggerus-gerus permukaan balok dengan ujung paku, mencari-cari satu titik posisi gigiyang balok itu adalah representasi gusi orang. Hebat luar biasa. Sang pasien merasa seakan sebuahbenda bergerak-gerak dalam mulutnya, meraba setiap giginya. Iniadalah komunikasi telepatik antara sepotong balok, sebatang paku, seorang dukun nyentrik, dan sebuahtekak busuk. Jika benda imajiner itu terasa mengenai gigi yang sakit, sang pasien berteriak, "Yah ... hooh,hooh!! Di situ!!"A Put serta-merta memukul kepala paku dengan keras, menghunjamkannya ke dalam balok dan detikitu pula byarrr! Abrakadabra! Sim salabim! Tak tahu karena campur tangan jin, ilmu hitam, berkah sajenpada raja setan, atau sugesti, rasa sakit pada gigi itu dijamin lenyap saat itu juga, menguap seperti dompetketinggalan di stasiun, aneh binti ajaib!! Tak ada sebiji pun obat, bahkan tak perlu membuka mulut!Suatu ketika antrean pasien A Put telah melampaui pagar kandang tetua Melayukasak-kusuk dan pagi-pagi sekali esoknya mereka mengantar senampan pulut panggang."Selamat, Dokter A Put. Pimpinlah kampung ini, semoga sejahtera, Kawan...."Jika A Put memakan pulut panggang itu, maka saat itu pula ia dilantik jadi kepala kampung. Demikianlahprosesi di kampung kami, sangat fungsional. Jika hujan berkepanjangan, pawang hujan akan mendapatkiriman pulut panggang. Jika buaya mulai nakal, maka dukun buaya dinobatkan jadi kepala anak-anak Melayu banyak lahir, sang paraji, penguasa tali pusar itu, dipastikan jadi ketua adat. APut mendapat kehormatan jadi presiden kampung kami karena tahun itu kasus borok gigi berdasarkan perintah alam itu berakhir sampai orang-orang Pasai membawa Islam kesuku-suku Melayu dukun dan pawang bangkrut pamornya digantikan oleh penggawamasjid. Belakangan kami dikenalkan pada model demokrasi aneh yang mungkin di dunia hanya ada direpublik di Jakarta menyebutnya Demokrasi Terpimpin! Mengada-ada tentu saja. Sejak itukampung-kampung orang Melayu diserbu manusia-manusia kiriman dariPalembang . Mereka tak kamikenal, rata-rata bergelar Mereka menjadi camat, bupati, sampai ketua KUA. Tapi itu pun tak setelah mahasiswa mengobrak-abrik kejahiliahan penyelenggaraan negara, kami dipimpin olehbumiputra yang dalam pemilihan diwakili gambar jagung, pisang, dan kacang mahasiswayang hebat itu telah menebarkan kenikmatan demokrasi sampai jauh ke pulau-pulau ini Kacang Kedelai memimpin kampung kami. la dicintai dan berkuasa karena legitimasinya penuh,de jure hanya de jure, sebab kenyataannya penguasa tertinggi kampung kami, tak lain tak bukan, defacto, tak dapat diganggu gugat, tetaplah penggawa penggawa masjid sangat seperti trias politika Taikong Hamim sang eksekutif atau pelaksana pemerintahan masjidsehari-hari, Haji Satar pembuat aturan sehingga seperti lembaga legislatif, dan Haji Hazani selakuyudikatif. Namun, dalam praktik mereka adalah robot-robot budi pekerti yang menganggap besi panasmerupakan alat yang setimpal untuk meluruskan tabiat anak-anak Melayu yang telah terkorupsiakhlaknya. Mereka keras seperti tembaga. Setelah pulang sekolah, jangan harap kami bisa dan mengaji Al-Qur'an sampai khatam jika sampai tamat SD belum hafal Juz Amma, siap-siap saja dimasukkan ke dalam beduk danbeduknya dipukul keras-keras sehingga ketika keluar berjalan zig-zag seperti ayam keracunan kepitingbatu. Mereka lebih kejam dari orangtua kami sebab merekalah yang mengajari orangtua kami Pak Ketua Kacang Kedelai tak berkutik pada trias politika karena yang menyunat bapaknya,dengan kulit bambu, adalah Taikong Hamim. Dalam budaya orang Melayu pedalaman, siapa yangmengajarimu mengaji dan menyunat perkakasmu adalah pemilik kebijakan dan Arai sering dihukum Taikong Hamim. Karena napasku tak panjang kalau mengaji pada suatusubuh yang dingin, aku disuruh menimba air dan mengisi tong sampai penuh, lalu aku dipaksa menyelamke dalam tong itu membawa jerikenlima liter. Leher jeriken itu kecil sekali dan aku tak boleh timbulsebelum jeriken itu penuh. Aku megap-megap dengan bibir membiru dan mata mau meloncat. Arai lebihparah. Karena terlambat salat subuh, ia disuruh berlari mengelilingi masjid sambil memikul gulungankasur. Kami terpingkal-pingkal melihatnya berlari seperti orang kebakaran kancah kawah candradimuka masjid, di bawah pemerintahan trias politika itulah, kami mengenalJimbron. Jimbron tak lancar berbicara. la gagap, tapi tak selalu gagap. Jika ia panik atau sedangbersemangat maka ia gagap. Jika suasana hatinya sedang nyaman, ia berbicara senormal orang bertubuh umum ia seperti bonsai kamboja Jepang bahu landai, lebar, dan lungsur, gemuk berkumpul didaerah tengah. Wajahnya seperti bayi, bayi yang murung, seperti bayi yang ingin menangis—jikamelihatnya langsung timbul perasaan ingin adalah seseorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kamiheran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya, beliau adalah seorang pastorkarena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovanny. Rupanya setelah sebatangkara seperti Arai, ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Italia itu tak sedikit punbermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbronmengaji ke masjid. Nasib Jimbron tak kalah menggiriskan dengan Arai. Dan gagapnya itu berhubungandengan sebuah cerita yang memilukan. Dulu bicaranya normal seperti anak-anak lainnya. Jimbron adalahanak tertua dari tiga bersaudara. la memiliki dua adik kembar perempuan. Ibunya wafat ketika Jimbronkelas empat SD. Jimbron sangat dekat dan sangat tergantung pada adalah orientasi hidupnya. Suatu hari, belum empat puluh hari ibunya wafat, Jimbron bepergiannaik sepeda dibonceng ayahnya, masih berkendara ayahnya terkena serangan jantung. Konon Jimbronpontang-panting dengan sepeda itu membawa ayahnya ke Puskesmas. la berusaha sekuat tenaga, panik,dan jatuh bangun terseok-seok membonceng ayahnya yang sesak napas sambil kesusahanmemeganginya. Sampai di Puskesmas Jimbron, anak kelas empat SD itu, kehabisan napas dan pucatpasi ketakutan. la kalut, tak sanggup menjelaskan situasinya pada orang-orang. Lagi pula menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak itu Jimbron gagap. Pendeta Geovanny, sahabatkeluarga itu, lalu mengasuh Jimbron. Kedua adik kembar perempuannya mengikuti bibinya ke PangkalPinang, PulauBangka .Keheranan kami yang kedua adalah Jimbron sangat menyukai kuda. Kata orang-orang, ini berhubungandengan sebuah film di televisi balai desa yang ditonton Jimbron seminggu sebelum ayahnya wafat. Dalamfilm koboi itu tampak seseorang membawa orang sakit untuk diobati dengan mengendarai kuda secepatangin sehingga orang itu dapat diselamatkan. Barangkali Jimbron menganggap nyawa ayahnya dapattertolong jika ia membawa ayahnya ke Puskesmas dengan mengendarai kampung kami tak ada seekor pun kuda tapi Jimbron mengenal kuda seperti ia pernah melihatnyalangsung. Jimbron adalah pemuda yang mudah mengantuk tapi jika sedikit saja ia mendengar tentangkuda, maka telinga layunya sontak berdiri. Jimbron segera menjadi pencinta kuda yang fanatik. Ia tahuteknik mengendarai kuda, asal muasal kuda, dan mengerti makna ringkikan kuda. Ia hafal nama kudaAbraham Lincoln,nama kuda Napoleon, bahkan nama kuda Syaidina Umar bin Khatab. Dengan melihat gambar wajahkuda, ia langsung tahu jenis kelamirmya. Tak ada satu pun hal lain yang menarik di dunia ini bagi Jimbronselain kuda. Jika kami menonton film Zorro di TV balai desa, maka jangan tanyakan pada Jimbron jalanceritanya. Ia tak tahu. Tapi tanyakan jumlah kuda yang terlihat, berapa kuda hitam dan putih, bahkanberapa kali terdengar suara kuda meringkik, ia ingat betul. Jimbron terobsesi pada kuda, penyakit gilanomor 14."Kud.... Kudddaa aadd... addaalah... kendarrraan perrranggg, Kal!!"He... he ... hewan yang... mm... mmemenangkan ... pph ... ppe ... pperrrang Badarrrrrr...."Ia ingin melanjutkan ceritanya tapi kelelahan oleh gagapnya. Semakin ia excited, semakin prihatin melihat mukanya. Sebuah wajah yang menimbulkan perasaan ingin selalu bersih seperti bayi. Kuduga Jimbron tak 'kanpernah tampak tua walaupun nanti usianya tujuhpuluh tahun."Binatang yang gagah berani Bron, hebat sekali, aku setuju," kuringankan beban hidupnya denganmengakui bahwa kuda memang hebat. Ia sumringah. Tak perlu lagi meyakinkan aku meskipunsesungguhnya aku sudah sangat bosan. Jika berjumpa dengannya, tak ada cerita selain kuda, dari pagisampai sore."Kita tak bisa sembarangan dengan kuda, bisa-bisa kualat. Begitukan maksudmu, Bron?"Ah, Jimbron mengangguk-angguk, tersenyum lebar sambil tersengal menahan kata yang terperangkapdalam kerongkongannya, terkunci dalam gagapnya. Ia menatapku sarat arti aku sayang padamu,Sahabatku. Sungguh penuh pengertian!Dan suatu hari Taikong Hamim marah besar sebab di meja Jimbron berserakan gambar kuda dan takada lembar kosong di buku TPA-nya selain lukisan kuda. Jimbron disuruh maju ke tengah madrasah,dipertontonkan pada ratusan santri dan dipaksa meringkik. Matanya yang lugu, tubuhnya yang gemukdan bahunya yang lungsur tampak lucu ketika tangannya menekuk di dadanya seperti bajing. Dan kamidilanda keheranan ketiga Jimbron senang bukan main dengan hukuman Jimbron gembira dengan hukuman apapun yang berhubungan dengan kuda, bagi kamiTaikong Hamim tetap antagonis. Beliau selalu menerjemahkan aturan Haji Satar secara kaku tanpaperasaan. Maka dengan segala cara, kami berusaha membalas Taikong. Otak pembalasan ini tentu sajaArai. Cara yang paling aman, sehingga paling sering dipraktikkan Arai adalah mengucapkan amin dengansangat tidak tuma'ninah. Cara ini sebenarnya sangat keterlaluan, tapi maklum waktu itu kami masih SDdan Arai memang memiliki bakat terpendam di bidang nakal. Setiap Taikong Hamim menjadi imam salatjamaah dan tiba pada bacaan akhir Al-Fatihah "Whalad dholiiiiiin ...."Maka Arai langsung menyambut dengan lolongan seperti serigala mengundang kawin."Aaammmiiinnn ... mmiiinn ... mmiiiiiiiinnnnn ...."Arai meliuk-liukkan suaranya dan terang-terangan merobek-robek wibawa Taikong. Suaranya yangnyaring dan parau berkumandang dengan lucu membuyarkan kekhusyukan umat. Kami tak bisa menahancekikikan sampai perut kaku. Kejahatan ini aman menurut Arai sebab Taikong tak bisa menentukansiapa pelakunya di antara ratusan anak-anak di saf belakang. Dan kami selalu kompak melindungi kami, cara ini adalah pembalasan setimpal untuk lihat saja, kejahatan ini, belasan tahun kemudian akan diganjar Tuhan dengan tunai melalui carayang secuil pun tak terpikirkan oleh Arai. Taikong Hamim memang tak tahu tapi Tuhan mencatat danTuhan akan membalas. Seperti kata Anton Chekov Tuhan tahu, tapi menunggu. Mozaik 6 Aku Hanya Ingin Membuatnya TersenyumKarena di kampung orangtuaku tak ada SMA, setelah tamat SMP aku, Arai, dan Jimbron merantau keMagai untuk sekolah di SMA BukanMain . Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di manasebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belanganya, termasuk ayahku, terancam besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang besar anak-anak yangterpaksa berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain bekerja untuk membantu yang kuat tenaganya menjadi pendulang timah. Seharian berendam di dalam lumpur,mengaduk-aduk aluvial, meraba-raba urat timah di bawah tanah, mempertaruhkan kelangsungan hiduppada kemampuan menduga-duga. Mereka yang kuat nyalinya bekerja di bagian tengah laut. Pekerjaanberbahaya yang berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga. Mereka yang kuat tenaga dan kuat nyalinyasiang malam mencedok pasir gelas untuk mengisi tongkang, makan seperti jembel dan tidur di bawahgardan truk, melingkar seperti biawak. Anak-anak Melayu ini paling miris nasibnya. Karenasesungguhnya setiap butir pasir itu adalah milik ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas, dan galena ituadalah harkat dirinya sebagai orang Melayu asli, tapi semuanya mereka muat sendiri ke atas tongkanguntuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta atau pejabat yang kongkalikong. Menjadi pendulang,nelayan bagan, dan kuli pasir, berarti mengucapkan selamat tinggal pada Tut Wuri yang masih bersemangat sekolah umumnya bekerja di warung mi rebus. Mencuci piring dansetiap malam pulang kerja harus menggerus tangan tujuh kali dengan tanah karena terkena minyak menjadi buruh pabrik kepiting. Berdiri sepanjang malam menyiangi kepiting untuk dipaketkankeJakarta dengan risiko dijepiti hewan nakal itu. Atau, seperti aku, Arai, dan Jimbron, menjadi kulingambat. Sebelum menjadi kuli ngambat kami pernah memiliki pekerjaan lain yang juga memungkinkanuntuk tetap sekolah, yaitu sebagai penyelam dipadang golf. Tentu susah dipahami kalau kampung kamiyang miskin sempat punya beberapapadang golf bahkan sampai 24 hole. Dan tentu aneh dipadang golfada pekerjaan menyelam. Orang-orang kaya baru dari PN Timah yang tak berbakat dan datang hanyauntuk menegaskan statusnya tak pernah mampu melewatkan bola golf melampaui sebuah danau bekasgalian kapal keruk di tengahpadang golf itu. Penjagapadang golf akan membayar untuk setiap bola golfyang dapat diambil pada kedalaman hampir tujuh meter di dasar danau. Bola golf di dasar danau denganmudah dapat ditemukan karena indah berkilauan, persoalannya, danau itu adalah tempat buaya-buayasebesar tong berumah tangga. Lalu kami beralih menjadi part time office boy di kompleks kantorpemerintah. Mantap sekali judul jabatan kami itu dan hebat sekali job description-nya masuk kerjasubuh-subuh dan menyiapkan ratusan gelas teh dan kopi untuk para abdi negara. Persoalannya, lebihsadis dari ancaman reptil cretaceous itu, yaitu berbulan-bulan tak kami bahagia sebagai kuli ngambat. Karena pekerjaan ini kami menyewa sebuah los sempit didermaga dan pulang ke rumah orangtua setiap dua berasal dari kata menghambat, yaitu menunggu perahu nelayan yang penangkapikan yang merasa martabat profesinya harus dijaga baik-baik sampai batas dermaga, tak pernah maurepot-repot memikul tangkapannya ke pasar ikan. Lalu yang mereka tindas habis-habisan untukmelakukan pekerjaan sangat kasar berbau busuk itu disebut kuli ngambat. Selain anak-anak yang tekadingin sekolahnya sekeras tembaga, pemangku jabatan kuli ngambat umumnya adalah mereka yang patahharapan. Tak diterima kerja di mana-mana, karena saking tololnya sampai tak tahu nama presidenrepublik ini, atau karena saking jelek konditenya bahkan perkumpulan calo karcis—yang jugamerupakan gerom-bolan bromocorah—tak mau mengajak mereka. Setiap pukul dua pagi, berbekalsebatang bambu, kami sempoyongan memikul berbagai jenis makhluk laut yang sudah harus tersaji dimeja pualam stanplat pada pukullima , sehingga pukul enam sudah bisa diserbu ibu-ibu. Artinya, setelahitu kami leluasa untuk pagi kami selalu seperti semut kebakaran. Menjelang pukul tujuh, dengan membersihkan diriseadanya—karena itu kami selalu berbau seperti ikan pari kami tergopoh-gopoh ke sekolah. Jimbronmenyambar sepedanya, yang telah dipasanginya surai sehingga baginya sepeda jengki reyot itu adalahkuda terbang pegasus. Aku dan Arai berlari sprint menuju sekolah. Sampai di sekolah, semua kelelahankami serta-merta lenyap, sirna tak ada bekasnya, menguap diisap oleh daya tarik laki-laki tampan ini,kepala sekolah kami ini, guru kesusastraan kami Bapak Drs. Julian Ichsan Balia. Sebagai anak-anakyang sejak sekolah dasar diajarkan untuk menghargai ilmu pengetahuan dan seni, aku, Arai, dan Jimbronsungguh terpesona pada Pak Balia. Berpostur sedang, berkulit bersih, 170 cm kurang lebih, Pak Baliaselalu tampil prima karena ia mencintai profesinya, menyenangi ilmu, dan lebih dari itu, amat menghargaimurid-muridnya. Setiap representasi dirinya ia perhitungkan dengan teliti sebab ia juga paham di depankelas ia adalah center of universe dan karena yang diajarkannya adalah sastra, muara segala elegan penuh makna seperri sampul buku ensiklopedia. Tulang pipi yang lonjong membuatnyatampak sehat dan muda ketika timbangannya naik dan membuatnya berkarakter menawan waktu iakurus. Warna cokelat adalah sandang kesenangannya sebab seirama dengan warna bola matanya. Ilmuyang terasah oleh usia yang senantiasa bertambah, menjadikan dua bola kecil cokelat yang teduh itu bakperigi yang memeram ketinggian ilmu dalam kebijaksanaan umur. Kreatif! Merupakan daya tarik utamakelasnya. Ketika membicarakan syair-syair tentang laut, beliau memboyong kami ke kampung kami menggubah deburan ombak menjadi prosa, membimbing kami merangkai bait puisi darisetiap elemen kehidupan para penangkap ikan. Indah pernah mau kelihatan letih dan jemu menghadapi murid. Jika kelelahan beliau mohon diri sebentaruntuk membasuh mukanya, mengelapnya dengan handuk putih kecil bersulamkan nama istri danputri-putrinya, yang selalu dibawanya ke mana-mana, lalu dibasahinya rambutnya dan disisirnya kembalirapi-rapi bergaya James Dean. Sejenak kemudian beliau menjelma lagi di depan kelas sebagai pangerantampan ilmu pengetahuan."What we do in life ..." kata Pak Balia teatrikal, "... echoes in eternity...!! Setiap peristiwa di jagat rayaini adalah potongan-potongan mozaik. Terserak disana sini, tersebar dalam rentang waktu danruang-ruang. Namun, perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok seperti montase Antoni itu akan membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu apa pun yang kaukerjakan dalamhidup ini, akan bergema dalam keabadian ...."Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu!"Matahari sore kuning tua berkilat di mata cokelat Pak Balia. Sinarnya yang terang tapi lembut menghalausisa-sisa siang. Di lapangan sekolah kami duduk rapat-rapat merubungnya. Terpesona akankata-katanya. Kami lena dibelai ujung-ujung putih perdu kapas yang bergelombang ditiup sepoi anginbak buih lautan, lena disihir kalimah-kalimah sastrawi guru kami ini. Dan tak dinyana, apa yang dikatakandan diperlihatkan Pak Balia berikut ini bak batu safir yang terhunjam ke hatiku dan Arai, membuat hatikami membiru karena kilaunya. Menahbiskan mimpi-mimpi yang muskil bagi kami."Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai kePrancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiadatara Sorbonne. Ikuti jejak-jejakSartre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan seni hinggamengubah peradaban...."Aku dan Arai tak berkedip waktu Pak Balia memperlihatkan sebuah gambar. Dalam gambar itu tampakseorang pelukis sedang menghadapi sebidang coretan impresi. Dan nun disana , di belakang kanvas itu, berdiri menjulang Menara Eiffelseolah menunduk memerintahkan Sungai Seine agar membelah diri menjadi dua tepat di itu pun patuh. Riak-riak kecilnya membiaskan cahaya seumpama jutaan bola-bola kaca yangdituangkan dari saat itulah aku, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan harapan agung kami dalam satu statementyang sangat ambisius cita-cita kami adalah kami ingin sekolah ke Prancis! Ingin menginjakkan kaki dialtar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Harapan ini selanjutnyamenghantui kami setiap hari. Begitu tinggi cita-cita kami. Mengingat keadaan kami yang amat terbatas,sebenarnya lebih tepat cita-cita itu disebut impian saja. Tapi di depan tokoh karismatik seperti Pak Balia,semuanya seakan Balia mengakhiri session sore dengan menyentak semangat kami. "Bangkitlah, wahai ParaPelopor!!. Pekikkan padaku kata-kata yang menerangi gelap gulita rongga dadamu! Kata-kata yangmemberimu inspirasi!!"Para Pelopor!! Panggilan Pak Balia untuk kami sebagai siswa angkatan pertamaSMA Negeri Bukan itu senantiasa membuncahkan tenaga dalam pembuluh darah kami. Tangan-tangan mudaMelayu serta-merta menuding langit, puluhan jumlahnya, berebutan ingin tampil."Makruf!!"Beruntung sekali, ia terpilih. Ketua Pramuka SMA Bukan Main ini meloncat ke depan. Kata-katanyapatah-patah menggelegar seperti prajurit TNI ditanya jatah oleh komandan kompi."Kaum Muda! Yang kita butuhkan adalah orang-orang yang mampu memimpikan sesuatu yang takpernah diimpikan siapa pun! John R Kennedy, Presiden Amerika paling masyhur!""Hebat sekali, Ruf! Hebat sekali! Oke, Mahader!!" Mahader sudah seperti cacing kepanasan dari aku, Arai, dan Jimbron, ia termasuk dalam gelombang besar endemik kemiskinan yang melandaanak-anak para kuli timah ketika perusahaan itu mulai diintai kolaps pertengahan 80-an. Mahader taksabar ingin mengabarkan pada dunia kata-kata yang membuatnya tabah bangun setiap pukul tiga subuhuntuk menggoreng getas dan menjunjungnya keliling kampung. Wajahnya sendu namun tegar selayaknyaorang yang menanggung beban kesusahan menghidupi adik-adiknya. Kata-katanya garau dan syahdu,penuh tekanan seperti deklamasi."Kesulitan .... Seluruh kesulitan dalam hidup ini ... adalah bagian dari suatu tatanan yang sempurna dansifat yang paling pasti dari sistem tata surya ini...."Pierre Simon de Laplace, bisa kita sebut sebagai seorang astronom nomor satu ...."Saktinya sastra, ungkapan seorang astronom dua ratuslima puluh tahun yang lalu di negeri antah berantahdapat menjadi penyebar semangat hidup seorang anak Melayu tukang getas yang bahkan tak dapatmenyebut namanya dengan benar. Kami bersuit-suit mendengar kata-kata yang berkilauan itu danselanjutnya tak terbendung kata-kata negarawan, ilmuwan, dan pahlawan membanjiri kelas Pak Baliayang memesona."Zakiah Nurmala!!"Ditunjuk Pak Balia membuat hidungnya kembang kempis. la melonjak berdiri, suaranya melengking, "IShall return! Jenderal Douglas Mac-Arthur, pahlawan Perang Dunia Kedua!!"Itulah kalimat keramat yang diucapkan sang jenderal besar itu untuk menyemangati tentara Amerika diFilipina. Kata-kata yang membakar semangat setiap orang hingga kini. Tiba-tiba, tanpa diminta PakBalia, Arai melompat bangkit, melolong keras sekali, "Tak semua yang dapat dihitung, diperhitungkan,dan tak semua yang diperhitungkan, dapat dihitung!! Albert Einstein! Fisikawan nomor wahid!"Tinggi, runyam, membingungkan. Matanya melirik-lirik Nurmala. Pak Balia terpana dan berkerutkeningnya, tapi memang sudah sifat alamiah beliau menghargai siswanya."Cerdas sekali, Anak Muda, cerdas sekali...."Aku tahu taktik tengik Arai. la menggunakan kata-kata langit hanya untuk membuat Nurmala SMA Bukan Main itu telah ditaksirnya habis-habisan sejak melihatnya pertama kali waktupendaftaran. Meskipun seumur-umur tak pernah punya pacar tapi Arai punya teoriasmara yang sangatcanggih."Perempuan adalah makhluk yang plin-plan, Kal, maka pertama-tama, buatlah mereka bingung!!"Sehebat muslihat Casanova, kenyataannya, setiap melirik Arai, Nurmala tampak seperti orang terserangpenyakit angin duduk."Ikal!!"Oh, Pak Balia menunjukku. Dari tadi aku tak mengacung karena aku tak punya kata-kata mutiara. Akutak segera bangkit. Aku panik."Ya, kau, Ikal...."Semua mata memandangku melecehkan. Tak pernah Pak Balia harus meminta dua kali. Memalukan!Aku gemetar karena tak siap. Tapi aku tetap harus berdiri. Tak mungkin mengkhianati euforia kelas pada detik menentukan, aku senang sekali, eureka!! Sebab aku teringat akan ucapan seniman besarfavoritku. Akan kukutip salah satu syair lagunya. Aku berdiri tegak-tegak, berteriak, "Masa muda, masayang berapi-api!! Haji Rhoma Irama!"Setiap memandangi anak-anak Sungai Manggar yang berkejaran menuju muara aku terus teringatdengan gambar Sungai Seine dari Pak Balia dulu. Anak-anak Sungai Manggar itu, muara, dan barisanhutan bakau adalah pemandangan yang terbentang jika kami membuka jendela los kontrakan kami didermaga. Namun, tak seindah cerita romansa Sungai Seine, muara itu adalah muara air mata. Beberapatahun lalu sebuah keluarga Melayu berkebun di pulau kecil tak jauh dari muara. Dalam perjalanan pulang,perahu mereka terbalik. Dua hari kemudian orang melihat sosok-sosok mengambang pelan, lekat satusama lain, mengikuti anak Sungai Manggar. Sang ayah, dengan kedua tangannya, memeluk, merengkuh,menggenggam seluruh anggota keluarganya. Istrinya dan ketiga anaknya semuanya berada dalamdekapannya. Ia ingin menyelamatkan semuanya. Sebuah upaya yang sia-sia. Tapi anak tertuanya,Laksmi, selamat. Gadis kecil itu tak sadarkan diri, tersangkut di akar-akar bakau. Sejak itu semenanjungtempat keluarga itu ditemukan dinamakan orang Semenanjung Ayah. Laksmi dipungut seorang TionghoaTongsan pemilik pabrik cincau dan ia bekerja di situ. Tapi seperti Jimbron dengan Pendeta Geo, bapakasuh Laksmi justru menumbuhkan Laksmi menjadi muslimah yang taat. Sayangnya sejak kematiankeluarganya, kehidupan seolah terenggut dari Laksmi. Ia dirundung murung setiap meskipun sudah bertahun-tahun terjadi, kepedihan tragedi di Semenanjung Ayah masih lekatdalam dirinya. Dan selama bertahun-tahun itu pula, tak pernah lagi—tak pernah walau hanyasekali—orang melihat Laksmi itu sangat dirindukan semua orang yang mengenalnya. Karena senyumnya itu manis sebabwajahnya lonjong dan ada lesung pipit yang dalam di pipi kirinya. Tapi kejamnya nasib hanya menyisakansedikit untuk Laksmi sebuah pabrik cincau reyot, masa depan tak pasti, dan wajahnya yang selalusembap. Laksmi selalu menampilkan kesan seakan tak ada lagi orang yang mencintainya di dunia ini,padahal, diam-diam, Jimbron setengah mati cinta padanya. Jimbron bersimpati kepada Laksmi karenamerasa nasib mereka sama-sama memilukan. Mereka berdua, dalam usia demikian muda, mendadaksontak kehilangan orang-orang yang menjadi tumpuan kasih sayang. Kepedihan yang menghunjam dalamdiri mereka menyebabkan Laksmi kehilangan senyumnya, dan Jimbron kehilangan suaranya. Merekaberdua mengandung kehampaan yang tak terkira-kira dalam hatinya masing-masing. Setiap Minggu pagiJimbron menghambur ke pabrik cincau. Dengan senang hati, ia menjadi relawan pembantu diminta ia mencuci kaleng-kaleng mentega Palmboom wadah cincau itu jika isinya telah kosongdan ikut menjemur daun-daun cincau. Seperti biasa, Laksmi diam saja, dingin tanpa ekspresi. Di antarakaleng-kaleng Palmboom mereka berdua tampak yang gemuk gempal, sumringah, dan repot sekali, hanya setinggi bahu Laksmi yang kurusjangkung, berwajah lembut, dan tak peduli. Sering Jimbron datang ke pabrik membawakan Laksmi buahkweni dan pita-pita rambut. Jimbron ingin sekali, bagaimanapun caranya, meringankan beban Laksmimeskipun hanya sekadar mencuci pembeli sepi, Jimbron beraksi. Bukan untuk merayu atau menyatakan cinta, bukan, sama sekalibukan, tapi untuk menghibur Laksmi. Dari kejauhan aku dan Arai sering terpingkal-pingkal melihatJimbron bertingkah seperti kelinci berdiri. Tak diragukan, dia sedang meringkik, sedang menceritakankehebatan seekor kuda. Laksmi semakin datar karena kuda sama sekali asing baginya, asing bagi semuaorang dengan penuh semangat, Jimbron memamerkan aksesori baru sepeda jengkinya padaLaksmi yaitu sadelnya yang ia buat seperti pelana kuda. Kulit kambing didapatnya dari beduk pula dengan kantong kecil untuk menyelipkan senapan meski kenyataannya diisinya botol sepatunya yang ia pasangi ladam jadi seperti sepatu kuda, atau aksesori berupa tanduk sapi yangdiikatkan pada setang sepedanya. Laksmi hanya menggeleng-gelengkan Jimbron menghampiri Pak Balia untuk meminta cerita-cerita komedi. Bersusah payah,terbata-bata, Jimbron membaca cerpen "Lelucon Musim Panas" karya Alberto Moravia atau "Karma"karya Khushwant Singh untuk Laksmi, Laksmi tetap saja murung. Jimbron, aku, Arai, atau siapa pun,bagaimanapun kami telah mencoba, tak pernah sekali pun berhasil memancing senyum Laksmi. Laksmitelah lupa cara tersenyum. Senyum Laksmi telah tertelan kegelapan nasibnya. Jika mendengar kamimengisahkan fabel dan parodi, Laksmi memalingkan wajahnya, miris memandang langit, gamang melaluihari demi hari, perih memandang sulur-sulur anak Sungai Manggar di Semenanjung sudah Jimbron berusaha menarik Laksmi dari jebakan perangkap kesedihan. TapiLaksmi seperti orang yang sudah terjebak jiwanya. Kami mulai cemas, sekian lama dalam kungkunganduka yang gulita, jangan-jangan Laskmi mulai tergantung pada perasaan yang mengharu biru itu, bahkanmulai menyukainya. Seperti veteran PerangVietnam yang kecanduan pada rasa takut. Menurut kami,sudah saatnya Laksmi ditangani orang yang ahli. Setiap kami singgung kemungkinan itu pada Jimbron,dengan tujuan agar ia tidak kecewa, agar tak terlalu memendam harap, ia terpuruk, terpuruk dalamsekali."Aku hanya ingin membuatnya tersenyum...," katanya 7 AfghanistanDi televisi balai desa kami menyimak ulasan Ibu Toeti Adhitama tentang sepak terjang seorang patriotmuda Mujahiddin yang baru saja menumbangkan komandan resimen utara Tentara Merah itu Oruzgan Mourad Karzani,berasal dariklan Karzani dan putra pahlawan Zahid adalah imam karismatikyang terpandang di bagian lain Afghanistan, initurun-temurun memimpin gerilyawan Baloch sehaj Afganistan melawan pendudukan Inggris dan sampaisaat terbuhuhnya komandan Rusia itu,sudah hampir sepuluh tahun mereka menggempur invasi berlangsung di Lembah Towraghondi,sebuah zona perang,dua ratus meter diluar garisbatas Afghanistan dan yang seusia dengan aku,Arai,dan Jmbron- baru 17 tahunternyata pemimpin pasukan elite telah menapaki jejak kepahlawanan keluarganyasejak komandan resimen utara Tentara Merah menjadi tonggak penting direbutnya kembali zonautara dari penaklukan Tentara Merah,sekaligus pemicu hengkangnya Rusia dari Afghanistan disambut bak waktu singkat,ia menjadi imam besar karisma ayahnya yang mampu merangkul sub-sub etnik Pashtuns, Tajik, Hazara, Aimak danBaloch yang sering konflik satu sama friksi dengan Taliban,Oruzgan danpengikutnya harus hengkang dari mendapat suaka di sebuah Negara menonton berita itu tak tebersit olehku dan Arai bahwa pertempuran di Towraghondi itu, yangterjadi pada waktu yang sama ketika kami dikejar Pak Mutar sampai ke gudang peti es15 Agustus1988,akan menjadi potongan mozaik juga tak sadar bahwa hari itu langit telah mengisapteriakanikan duyung sangCapo seperti langit mengisap teriakan Arai yang melatunkan amin secarakurang ajar untuk membalas Taikong langit menyimpannya, pelan-pelan hanyutmengintai aku dan Arai,dan suatu hari nanti akan menumpahkannya ke sekujur tubuh kami 8 Baju Safari AyahkuIbuku,jelas lebih pintar dari paling tidak biasa menuliskan namanya denganhuruf bisa menuliskan namanya dengan huruf Arab,huruf tanda tangannya pun seperti hurufshot .Tahu,’kan?Sebelumtho dan zho ayahhku adalah pria yang sangat berada di rumah dengan ibuku,rumahkami menjadi pentas menolong ibuku,berpenonton satu tahunsudah jadi belajar bahwa pria pendiam sesungguhnya memiliki rasa kasihsayang yang jauh berlebih disbanding pria sok ngatur yang merepet saja tiba hari pembagian rapor,ayahku mengambil cuti dua hari dari menyekopxenotim di instalasi pencucian timah, pembagian raporku adalah hari besarbagi banyak cincong hari pertama beliau mengeluarkan sepatunya yangbermerek sepatu kulit buaya yang rupanya seperti tatakan kuesempret itu,dipolesnya lembut dengan minyak rem dicampur tumbukan ikatpinggangnya,dari plastic tapi meniru motif ular,juga mendapat sentuhan semir pula kaus kakinya,sepasang kaus kaki sepak bola yang tebal sampai kelutut,berwarna hijau itu,special sekali,beliau akan menuntun keluar sepedaRally Robinson made inEngland-nya yang masih dibeli kakeknya tahun 1920,tak habis hitunganjari tangan kaki sepeda itu pernah dengan teliti ban danrantainya,dicobanya dynamo dan kliningnnya,dan tak lupa,sepeda itu pun mendapatkehormatan dipoles ramuan semir merek beliau sendiri yang terakhir,hanya,sekali lagi hanya,untuk acara yang sangat penting,beliaumengeluarkan busana terbaiknyabaju safari empat saku!Baju ini punya nilai historiesbagi keluarga ingat,setelah bertahun-tahun menjadi tenagalangkong ,semacamcalon pegawai PN Timah,akhirnya ayahku diangkat menjadi kuli pengangkatan itu adalah kain putih kasar bergaris-garis ibuku kain itudijadikanlima potong celana dan baju safari sehingga pada hari raya Idul Fitriayahku,aku,adik laki-lakiku,dan kedua abangku memakai baju seragamsafari empatsaku!Kami silahturahmi keliling kampung seperti rombongan petugas pembagian rapor,ibuku pun tak kalah semalam beliau merendam daunpandan dan bunga kenanga untuk dipercikkan di baju safari empat saku ayahku itu ayahku mengambil rapor akan ditutup dengan berangkat ke kawasan los pasarikan untuk mencukur rambut dan kumis ,sambil memperlihatkan amplopundangan dari Pak Mustar,wakil kepala sekolah kami itu,beliau sedikit bicara,sepertiberbisik,pada kawan-kawan dekatnya,para pejabat trias politika Masjid mengambil rapor Arai dan Ikal….â€Senyum ayahku indah baginya aku dan Arai adalah pahlawan Kancil Keriting itu,Pak Cik?â€Taikong Hamin selalu menatap ayahku lama-lama untuk mengharapkan lebih banyakkata meluncur dari mulut orang pendiam,kata-katanya memperlihatkan isi amplop itu ayahku bisa membual dalam undangan tertulis aku dan Arai berada dalam barisan bangku yang tak buruk prestasinya di SMAN Negeri Bukan bagaiayahku,tujuh kata itubesok,akan mengambil rapor Arai dan Ikal,yang terdiri atas tigapuluh empat karakter itu,sudah hari pembagian rapor,ayah ibuku telah menyiapkan istri itubangun pukul tiga menyalakan arang dalam setrikaan,mengipas-ngipasinya,dan dengan gesit memercikkan air pandan dan bunga kenanga,yang telahdirendamnya sehari semalam,di sekujur baju safari empat saku keramat melakukan pengecekan pada sepedanya untuk sebuah perjalanan jauh yangsangat salat subuh ayahku siap setelan lengkapnyaikat pinggangbermotif ular tanah,sepatu kulit buaya yang mengilap,dan kaus kaki sepak bola,serta bajusafari jahitan istrinya tahun 1972,yang sekarang berbau harum seperti kue bugis,kesanseorang buruh kasar di intalasi pencucian timah menguap dari adalah mantri cacar,syahbandar,atau paling tidak,tampak laksana juru tulis menyampirkan karung timah berisi botol air minum dan handuk untukmenyeka keringat,Lalu beliau bersepeda ke Magai,ke SMA Negeri Bukan Main,30kilometer jauhnya,untuk mengambil rapor rindang dedaunan bungur,di depan aula tempat pembagian rapor,sejak pagi akudan Arai menunggu membayangkan beliau,yang akan pensiun bulandepan,bersepada pelan-pelan melalui hamparan perdu apit-apit,kebun-kebun liar,danjejeran panjang pohon angsana reklamasi bumi Belitong yang dihancurkanleburkan PNTimah..Lalu beliau beristirahat di pinggir pasti menuntun sepedanya waktu mendaki Bukit Selumar,dan tetap menuntunnyaketika menuruni undakan itu sebab terlalu curam berbahaya,Beliau kembali melakukanhal yang sama saat melewati Bukit Selinsing,dan kembali terseok-seok mengayuh sepedamelawan angin melaluipadang sabana belasan kolometer menjelang tak mengapa,sebab kesurupan beliau akan kami obati dalam aula itu,PakMustar mengurutkan dengan teliti seluruhrangking dari tiga kelas angkatan pertamaSMA pertama sampai terakhir orangtua muriddikumpulkan di aula dengan nomor kursi besar-besar,sesuairangking itujuga dicatumkan dalam Pak Mustar namanya kalau tidak keras pembagian rapor adalah acara yang dapat membanggakan bagi sebagian orangtua sekaligus memalukan bagi sebagian Mustar menjejer sepuluh kursi khusus di sanalah berhak duduk para orangtua yang anaknya meraih prestasi sepuluh terbaik itu adalah anak-anak Melayuavant garde ,garda depan,â€katanya banggaketika mengenalkan konsepnya pada rapat orangtua kebetulan,aku dan Arai berada di garda urutan ketiga, Jimbron,mempersembahkan nomor kursi 78 untuk Pendeta pembagian rapor akan berakhir dengan makian-makian kasar orangtua pada anak-anaknya di bawah jajaran pohon bungur di depan aula kaududukkan bapakmu di kursi nomor 147!Apa kerjamu di sekolahselama ini?!â€â€Bikin malu!Semester depan kau cari bapak lain untuk mengambil rapormu!!â€Metode Pak Mustar memang keras,tapi yang dimaki bapaknya itubiasanya belajar jungkir balik dalam rangka memperkecil nomor sadarbahwa muka bapaknya dipertaruhkan langsung di depan dan Arai serentak berdiri ketika melihat sepeda itu mudah dikenalidari kap lampu alumunium putih yang menyilaukan ditimpa sinar kami melambai-lambai dan mengayuh sepedanya makin metermenjelang kami,dadaku sejuk berbunga-bunga karena aroma daun turun dari sepeda,seperti biasa,hanya satu ucapan pelanâ€Assalamu’alaikum†,takada kata menepuk-nepuk pundak kami sambil memberikan senyumnya mengelap keringat,merapikan rambutnya dengan berjalan tenangmemasuki aula dengangaya jalannya yang pengkor,mencari kursi nomor tangan ramai bersahutan ketika nama ayahku menerimaraporku,Pak Mustar mempersilakan ayahku menempati kursi nomorlima yangkosong,dan tepuk tangan kembali membahana waktu namanya kembali dipanggil untukmengambil rapor Arai,Tidak terlalu buruk,seorang tukang sekop diwasrai dipanggil duakali oleh Kepala SMA Negeri Bukan senyum menawan ayahku dan akutahu,saat itu adalah momen terbaik dalam menerima rapor,ayahku keluar dari aula dengan tenang dan dapat kutangkapkeharuan sekaligus kebanggaan yang sangat beasr dalam menemuikami,tapi tetap inilah momen yang paling itu hanyasekilas,yaitu ketika beliau bergantian menatap kami dan dengan jelas menyiratkan bahwakami adalah pahlawan kami ingin,ingin sekali dengan penuh hati,menjadipahlawan bagi ayahku tersenyum bangga,hanya tersenyum,tak ada sepatahkata itu seperti ucapan terimah kasih yang diucapkan menepuk-nepuk pundak kami,mengucapkanâ€Assalamu’alaikum†denganpelan sekali,lalu beranjak sepedanya lagi,30 ayahku sampai berkelak-kelok di atas jalan akumencintai laki-laki pendiam dua minggu aku bertemu dengannya,tapi setiaphari aku 9 BioskopBerbagai bangsa telah merapat ke Dermaga MagaiArab,Afrika,Cina,India,Pakistan,bahkanorang-orang perahu dari Kamboja. Yang paling sering adalah orang-orang musimbuah,mereka membawa kweni,pisang,dan manggis,menjualnya pada penampung di stanplat lalu pulangke pulau-pulau kecil yang tersebar di Belitong timur membawa minyak tanah dan tinggal diperahu dan memakai sarung sampai menudungi kepala,seiring dengan sengaja mereka itulah adatnya yang merapat di Dermaga Olivir Magai maka peradaban pertama yang ditemukan orangadalah sebuah gedung paling top di film dua kaliseminggu,filmIndia dan FilmJakarta ,kata orang Melayu,Speaker TOA dari dalambioskop itu melolongkan suara sampai terdengar ke los kontrakan situlah akutahu kata mutiaramasa muda masa yang berapi-apidari Rhoma Irama ketika filmGitarTuanyadiputar tak henti-henti selama tiga bersarung lagi adatnya yang kukenal,mereka gemar sekali menonton memohon pada pemilik bioskop untuk terus memutar filmBeranakdalam Kubursampai fim itu keriting,hangus tak dapat diputar bioskop itu berada persis di depan los kontrakan sedikitpun kami tak berani menonton bioskop merupakan salah satu laranganpaling keras Pak berbahaya…Sangat berbahaya dan menjatuhkan martabatmu,anak-anak Melayubangsa menonton film yang dengan melihat nama pemainnya saja kitasudah dapat menduga tak pakai otak!Akting tak tahu malu!Tak ada mutunya sama itu!Aurat diumbar seperti itu akan merusak waktumu untuk belajar!!Awas!!Sempat tertangkap tangan kau nonton disitu,rasakan akibatnya!!â€Maka tak ada siswa SMA Negeri Bukan Main yang berani dekat-dekat pun sore ini Arai barupulang sekolah dan sedang duduk santai di beranda los kontrakan kami waktu melihatpara petugas bioskop mengurai gulungan terpal besar berukuran 4 x 3 meter,sebuahposter film kiri kanan terpal telah ditautkan pada sudut-sudut raksasa itu tak berantakan,para petugas harus pelan-pelan kami hanya melihat gambar dua potong betis semakin menarik sebab seiring dengan semakin panjangterpal diurai dasn semakin ke atas betis itu tampak,semakin tak ada tanda-tanda bertiga melotot waktu terpal dibuka melewati lutut wanita atas tempurunglututnya,jantung muda kami,yang telah lepas pantang sunat ini,berdetak satu-satumengikuti lekukan kaki mulus yang naik lagi,naik lagi,terus naik lagi sampai ke areapaha dan tetap tak tampak selembar pun benang terpaku denganmulut ternganga waktu terpal terbuka sampai ke atas God,aku mau pingsan!Disana,ya,disana ,hanya ada carik kecil berwarna terpal naik lagi,dan didadanya juga hanya dililit carik merah berupa lengan Arai kuat-kuat,lalu sudah tak bisa lagimerasakan seperti anjing melihat cepat-cepatmenutup mataku dengan kadua aneh,jari-jariku bergeser sendiri dipaksa oleh diriku sendiri untuk mengintip dari sela-sela jariku,tapi jari-jari itu melawan tuannya,Aku mengintip malu danmerasa sangat bersalah pada Buya Kiai Haji Achmad Dahlan,pendiri tergelar penuh dan hanyalima puluh meter,tepat di depan pintu los kamarkontrakan kami,wanita berbikini itu melirik penuh godaan sambil menggendong seekoranjing sampingnya tertera judul film yang penderita sakit gila nomor 6sekalipun—idiot—dapat langsung menebak nasib para pemeran di film ada juganama produsernyaseperti merek puyer,dan nama sutradaranyaseperti nama pemainseruling sebuah dangdut.Dia pasti menyamarkan tabiat rendahnya di balik nama sepertinama kami membuka pintu dan jendela los itu langsung menyerbu kamidengan gelembung-gelembung memabukkantak terjangkau tapi menjanjikan,singgahsebentar tapi mengajak,digdaya tapi sang pudel tampak tenteram sekalidi haribaan dua gelembung lain di kami tersihir pandanganmata wanita di poster godaan yang tak gerakan kecilkami di los kontrakan seakan diikuti oleh kedua bola pulang sekolahkami ya yang dikerjakannya kalautidak sedang bermain film tolol?Anjing siapakah yang digendongnya?Apakah dia bisamengaji?Lalu suatu pagi buta,kelelahan setelah pontang-panting memikul dudukbertiga,nanar mengamati inci demi inci lekukan maut wanita itu yang tampak semakinmembius disirami cahaya lampu diam melamun dengan pikiran yang semburat menerobos pelosok-pelosok gelap tak senyum genit wanita di poster itu makin hidup!Berbicaralembut kepada kami,lembut sekali bak busa-busa disana …aiiiih,siapa namamu?Ah,sudahlah,tak penting,tapi tak tahukah?hiduphanya sekali…Oh,lihatlah dirimumuda,perkasa,tampan,tersia-sia…â€Kami waktu mudamu hanya untuk membanting tulang?Aiiiih…mengapa kerassekalo pada dirimu sendiri…??“Aku bisa dipecat!!Apa tak kau tengok pengumuman,anak sekolah dilarang masuk!!â€Dan memang,dari mulai pagar bioskop sampai pintu masuk,bertebaran peringatan kerasanak sekolah dilarang Mustar punya mata-mata di mana-mana jangan tak’akan bisamasuk!!â€Pak Cikmuntab .Rupanya ia sendiri muak dengan film-film murahan sekolah macam apa kalian ini!!??Mau nonton filmnauzubillah macam begini???â€Ketika kami melompat kabur,ia masih sempat melolong,â€Pulangsana ,mengaji!! kenal Bapakmu diwasrai .Kulaporkan tabiatmu!!â€Bioskop itu hanya memiliki satu akses,yaitu pintu Cik dan A Kiun adalahpalang pintunya dan keduanya gagal kami memutar otak dengan rencana malam kita bongkar atapnya,masuk,dan sembunyi dalam bioskop sampaidiputar film besok sudah kubilang kelenjar testoteron adalah akar segala betapa mengerikannya modus kriminal yang dimotivasi kelenjar modus itu berarti kami harus sembunyi paling tidak 20 jam di dalam bioskopyang membongkar atap urusan bisa runyam sebab bioskop itu milikCapo LamNyet rencana ini juga untuk menyaksikan nasib dua carik merah itu menggebu tapikami tak tahu cara masuk benci menjadi anak sekolah yang tak benci pada waktu yang seakan beku tak remaja terasaselamanya tak setiap malam,dari los kontrakan,kami benci melihatorang-orang berkerudung mengantre tiket tanpa kami sadari bahwa solusi briliansesungguhnya kasat di depan mata Jimbron yang selalu kami ragukankapasitas akalnya yang justru melihat solusi orang-orangberkerudung sedang antre,dia menghambur ke dalam los kontrakan,mengagetkan aku danArai yang sedang .eerhhgg!!Errgghh!!â€Jimbron mendengus-dengus keras serupa kucing pucat tegang sepertikucing pucat tegang seperti telah menelan biji kumatparah jika ia menunjuk-nunjuk orang-orang bersarung,tangannyamemberi isyarat seperti orang menudungi kepala dengan kami segera sekali,Broni!!â€Kami akan masuk bioskop dengan menyamar sebagai orang berkerudung.!!Esoknya kami sibuk mencari sarung tangan yang paling bau yang berbulan-bulan takdicuci agar A Kiun dan Pak Cik tak betah dekat-dekat besar itu pun Kaca Cinderellaâ€bergema darispeaker TOA,tanda film menyelinap dalam barisan panjang orang berkerudung yang riuh rendah dengan bahasanya sendiri dan kami gemetar,tak sabarmemenuhi undangan wanita yang menggendong anjing pudel itu,ingin segeramenemuinya di dalam sempurna penyamaran busuk itu kami tudungkan di atas kepala dankami lipat tepiannya menutupi wajah sehingga yang tampak hanya mata dan sedikitlubang Melayu yang paling jeli sekalipun tak’kan dapat mengenali ada kemauan,di situ ada lama yang dianut semua bangsa di mukabumi,benar adanya Sungguh benar kulirik lagi poster wanita yang menggendong anjing pudel itu dan ini bukan senyum mengajak tapi senyum kemenangan hasrat maksiat atasgembelengan akhlak yang kemi tempuh sejak adalah malam yang amatmenyedihkan gugup ketika mendekati loket karcis yagn menggumam tak jelaswaktu menyodorkan uang receh sambil menunjukkan tiga semburansemerbak bau Kiun mendadak memundurkan merah dancepat-cepat menyerahkan pun ia tak pertama,dansekarang yang paling tukang sobek karcis Pak Cik mudah masih tiga meter darinya dan ia langsung menutuphidung,memalingkan menunduk ketika Cik malah tak mau menyobek karcis tak percaya,sekejap kemudian kami telah berada di dalam girangseperti orang berhasil melewati tembok mengambil tempat duduk pesing tercium dari sudut-sudut tetap memakai sarung kamiseperti orang memakai cadar dan dari balik cadar,kami terpesona melihat adat istiadatdalam bioskop orang dewasa.Lh3flJL.